JAKARTA — Peneliti Centre for Strategic and International Studies (CSIS), Arya Fernandes, menduga, ada beberapa hal yang menyebabkan pemilihan kepala daerah (Pilkada) dipaksakan dilakukan pada akhir 2020. Salah satunya, terdapat potensi banyaknya pelaksana tugas (Plt) kepala daerah yang tidak dikehendaki partai politik jika pelaksanaan Pilkada dilakukan pertengahan atau akhir 2021.

“Ada sekitar 170 kepala daerah yang sekarang ini dari 270 itu yang masa jabatan berakhir paling lambat akhir 2020,” ungkap Arya dalam diskusi daring, Ahad (17/5).

Menurut Arya, dengan begitu jika Pilkada ditunda hingga September atau pertengahan 2021, maka akan ada banyak PLT kepala daerah. Hal tersebut, kata dia, tidak dikehendaki oleh beberapa pihak, terutama oleh para partai politik. Terlebih lagi jika partai politik tersebut memiliki calon petahana di suatu daerah.
Pilkada (ilustrasi) © Republika/Yogi Ardhi Pilkada (ilustrasi)

“Petahana untuk maju lagi tapi dia masih dalam suasana sudah ada PLT dalam waktu yang lama, enam bulan lebih misalnya, maka incumbent effect, dampak petahana itu menjadi berkurang secara politik elektoral,” terangnya.

Berdasarkan perhitungan yang ia lakukan, dari 270 daerah yang akan melaksanakan Pilkada, ada sekitar 80 persen calon petahana yang dapat maju kembali. Karena itu, ia menilai hal tersebut sebagai salah satu pertimbangan politik bagi partai-partai politik dalam menentukan waktu Pilkada 2020.

Ia juga menjelaskan, pihak yang paling diuntungkan dengan penundaan Pilkada 2020 hingga bulan Desember 2020 ialah petahana. Menurutnya, dalam situasi pandemi, calon-calon potensial sebagai lawan dari petahana tidak bisa bergerak, dalam berkampanye salah satu contohnya.

“Masa kampanye misalnya dalam suasana seperti ini. Sosialisasi, ‘mohon doa restu, saya mau maju Pilkada.’ Orang lagi sibuk ngurusin nyawa mereka malah sosialisasi kampanye gitu,” kata dia.

Arya mengatakan, karena itu, pihak yang dapat terlihat terus-menerus oleh masyarakat adalah petahana. Petahana dapat menangani situasi yang ia miliki dengan tampil dengan baik, atau pura-pura berbaik hati di hadapan masyarakat dengan menggunakan bantuan sosial dan sebagainya.

“Lain halnya kalau misalnya penundaannya nanti lebih lama, Juni 2021. Maka banyak petahana yang tidak ada lagi kekuasaan mereka, tidak bisa lagi tampil sebagai petahana memberikan bansos, memberikan diri sebagai pemimpin di masa krisis dan sebagainya,” tutur Arya. (red)

Sumber: republika.co.id