Lirik Digital Streaming, Satu Persatu Pedagang Tinggalkan Pasar 16 Ilir
PALEMBANG (KP) – Lorong-lorong di gedung Pasar 16 Ilir Palembang, kini semakin lengang. Hilir-mudik warga di Gedung 6 lantai yang hendak berbelanja, setiap hari hanya bisa dihitung dengan jari. Rolling door kios di bagian depan gedung pun sebagian besar hanya tertutup.
Sahut-menyahut pekikan para pedagang yang memancing pembeli datang ke lapaknya nihil. Hanya ajakan lirih yang terlontar dari mulut sebagian pedagang, yang masih memilih bertahan berjualan di pasar di tengah pandemi.
Tak ada lagi manusia berjubel memenuhi pasar terbesar di Kota Pempek ini. Pandemi Covid-19 memaksa warga berdiam diri di rumah, bukan hanya patuh imbauan pemerintah untuk menghindari kerumunan, namun juga keterbatasan pendapatan masih memukul warga untuk berhemat dan tidak menghamburkan uang demi kesenangan sekejap.
Pandemi Covid-19, benar-benar menjadi pukulan telak bagi para pedagang di pasar legendaris terletak di bibir Sungai Musi ini. Ratusan pedagang akhirnya ‘menyerah’ satu persatu, meski sebagian masih mencoba beralih berjualan di lapak kaki lima di luar gedung pasar.
Ihksan (42), telah berjualan pakaian anak-anak di Pasar 16 Ilir sejak 2015. Sebelum pandemi, ia minimal dapat mengantongi omset Rp500 ribu. Jika ramai, dirinya meraup Rp1 juta. Saat pandemi, omset Ihhsan jeblok. Dirinya dan istri kelimpungan cari pemasukan karena tidak memiliki pemasukan lain di luar berjualan.
Ia pun mulai mencari cara agar bisa kembali berjualan di tengah kondisi keterbatasan pandemi. Ia dan istri, Winda mencoba melirik Facebook, tren jualan live streaming di media sosial tersebut sedang in di tengah masyarakat. Peminatnya pun banyak. Ikhsan dan istri pun mulai banyak bertanya kepada mereka yang sudah duluan melakoni gaya jualan baru tersebut.
“Ada teman sesama pedagang di Pasar 16 yang juga mulai live Facebook. Teman lama yang dulunya nggak jualan juga, dia sudah jualan di live Facebook. Saya mulai belajar supaya bisa jualan normal lagi,” tutur dia.
September 2020, Winda istri Ihksan, mulai berani berjualan dengan cara live stream Facebook. Saat itu pandemi di Palembang masih membatasi aktivitas masyarakat. Meskipun prinsipnya sama, namun berjualan dengan live stream Facebook merupakan dunia yang berbeda bagi dirinya yang sudah lima tahun berjualan di pasar.
Di depan kamera, Winda dituntut luwes beraksi. Barang jualan yang tidak bisa secara langsung dilihat dan dicoba oleh pelanggan, harus bisa dijelaskan secara verbal. Selain harga, kualitas produk dan bahannya pun secara terperinci harus dijelaskan Winda kepada para calon pembeli di depan kamera.
Namun setelah beberapa pekan berjualan dengan cara baru, WInda mulai bisa merasakan angin segar. Jualannya laris manis, bahkan omsetnya melampaui rekor pencapaiannya sendiri saat berjualan secara konvensional di pasar.
Winda bisa mengantongi omset Rp1 juta-Rp1,5 juta setiap melakukan live stream. Winda menyadari, orang mulai banyak beralih berbelanja daring ketimbang ke pasar di tengah pandemi. Dirinya pun mulai secara rutin melakukan live stream untuk menjaring lebih banyak pembeli.
Dirinya pun mulai berkenalan dengan jasa-jasa kurir paket dalam kota yang melengkapi usahanya tersebut. Tanpa kurir, barang dagangannya tidak dapat dikonversikan menjadi rupiah.
“Kalau dulu di pasar kita langsung terima uang setelah ada yang beli, kalau di Facebook harus menunggu satu hari. Tapi itu tidak masalah kalau sudah dapat kurir yang bisa dipercaya, pendapatan kita pun jadi naik,” ujar dia.
Modal yang dikeluarkan untuk berjualan live stream pun tidak banyak. Winda merinci, dirinya perlu merogoh kocek Rp800 per bulan dan Rp20 ribu per hari untuk biaya sewa kios serta biaya keamanan juga kebersihan untuk memiliki lapak di Pasar 16 Ilir. Sementara untuk berjualan live stream, dirinya hanya perlu mempersiapkan ponsel yang mumpuni plus paket data yang digunakan selama mengudara.
Gawai ponsel dirinya menggunakan yang sudah dipakainya sehari-hari karena sudah mumpuni, belanja paket data pun masih lebih kecil daripada membayar biaya untuk mendapatkan lapak di pasar. Secara kasar, pendapatannya bertambah karena modal yang diperlukan berkurang.
Hampir setiap hari Winda sekarang terus berjualan live stream. Pembeli pun selalu ada, karena setiap hari pengguna media sosial pun sudah mencari kebutuhan-kebutuhan di Facebook. Perekonomian keluarganya pun sekarang terangkat kembali.
Namun meskipun sudah terbuai dengan berjualan secara digital, Winda masih enggan meninggalkan cara berjualan di pasar. Dirinya masih menanti kondisi kembali normal kembali dan berjualan di pasar kembali kondusif seperti sedia kala.
“Lapak di pasar masih dipertahankan karena kalau dilepas sayang, susah dapatnya lagi. Kalau secara kenyamanan, sama saja, jualan di pasar dan di Facebook sama-sama nyaman. Cuma cara yang sedikit berbeda. Kadang saya jualan di pasar, juga sekalian live Facebook. Jadi pemasarannya lebih luas,” ungkap Winda.
Terpuruknya kondisi UMKM akibat pandemi membuat pemerintah pun menyalurkan bantuan-bantuan uang segar kepada pedagang berbentuk BLT. Namun jumlah UMKM yang masih banyak belum terdata, membuat penyaluran bantuan dana tersebut belum merata.
Pelaksana Tugas Kepala Dinas Koperasi dan UMKM Sumsel Musiawati mengatakan, pelaku UMKM merupakan kalangan yang paling terdampak dari merebaknya pandemi Covid-19. Dorongan pemerintah agar pelaku UMKM memaksimalkan teknologi dan berjualan daring terus dipacu dengan disertai bantuan uang tunai untuk menambah modal.
Pemprov Sumsel mendapatkan jatah kredit usaha rakyat (KUR) dari pemerintah pusat sebesar Rp4,4 triliun. Dana tersebut akan disalurkan kepada para UMKM yang terdampak Covid-19 dengan cara bekerja sama dengan instansi lain seperti dinas perdagangan, industri, serta perbankan. Selain KUR, Pemprov Sumsel pun telah mengusulkan jatah 36 ribu pelaku UMKM mendapatkan bantuan langsung tunai (BLT) dari pemerintah pusat.
Sementara Dinas Perindustrian Sumsel pun menggelar program pelatihan pemasaran secara daring serta pengemasan bagi para pelaku industri kecil menengah. Penguasaan teknologi digital menjadi kunci agar pelaku IKM dan UMKM tetap bisa bertahan di tengah segala keterbatasan kondisi pandemi.
Sama halnya seperti Winda. Ia yang sempat tak bisa bernapas terjepit kondisi pandemi. Namun kini ia bisa melanjutkan usahanya. Ia pun sementara ini sudah tak berharap banyak dari Pasar 16 Ilir, meski pemerintah kota Palembang tetap mempertahankannya sebagai sentral dari perekonomian rakyat. (dm)
Penulis : Dahri Maulana