Oleh: Pradikta Andi Alvat S.H., M.H. |

Dalam pengertian umum, prostitusi diartikan sebagai komersialisasi tubuh, yakni aktivitas seksualitas untuk mendapakan keuntungan ekonomis, bahkan dalam konteks yang lebih kompleks, prostitusi dapat diartikan sebagai aktivitas menjual tubuh sebagai mata pencaharian.

Dalam prakteknya, modus operandi postitusi kini telah berkembang pesat sejalan dengan dinamika perkembangan zaman (iptek), yang kemudian berimplikasi terhadap perubahan model prostitusi yang kini tidak hanya mencakup prostitusi konvensional atau transaksi ditempat, namun mawujud juga menjadi prostitusi online yang melibatkan media daring baik untuk promosi maupun transaksi.

Sheila Jeffreys dalam bukunya yang berjudul The Industrial Vagina: The Political Economy of The Global Sex Trade (2009) mengatakan bahwa internet telah berperan besar dalam memudahkan terjadinya pariwisata seks, bisnis “pengantin pesanan” serta bentuk-bentuk aktivitas pelacuran lainnya. Secara garis besar Sheila Jeffreys ingin mengatakan bahwa kemajuan teknologi (internet) telah memberikan sumbangsih besar bagi suburnya praktek prostitusi.

Jika ditinjau dalam perspektif sosiologi, maka terdapat 4 faktor penyebab yang menyebabkan maraknya praktik prostitusi  Pertama, faktor kemiskinan. Kedua, faktor demoralisasi atau hilangnya moralitas dan budaya malu. Ketiga, faktor kebutuhan dan gaya hidup. Keempat, faktor lemahnya pengawasan dari pranata sosial (termasuk hukum).

Sejalan dengan hal tersebut, maka strategi pemberantasan prostitusi hendaknya harus memperhatikan dan mencakup pendekatan terhadap 4 motif tersebut secara integral, faktor kemiskinan harus direduksi dengan tindakan ekonomi dan kesejahteraan sosial seperti pembukaan lapangan kerja, faktor demoralisasi harus ditekan dengan Pendekatan pendidikan dan spiritual, faktor kebutuhan gaya hidup harus ditekan pendekatan sosial dan ekonomi, sedangkan faktor lemahnya pengawasan pranata sosial dalam hal ini harus disikapi dengan peningkatan pengawasan.

Pada prinsipnya prostitusi harus diberantas dengan pendekatan multidisipliner dan semangat integralistik oleh semua stakeholders (termasuk platform media daring dan masyarakat), yang mengandung arti bahwa semua sub-sub sistem dalam kehidupan masyarakat seperti budaya, ekonomi, hukum, dan sosial harus didaya-gunakan secara optimal dan kolektif guna menekan praktek prostitusi.

Hukum dan Prostitusi

Menelaah mengenai relasi hukum dan prostitusi di Indonesia, maka akan terlihat betapa longgarnya peran hukum di situ. Dapat dikatakan, peran hukum belum hadir secara nyata guna menekan praktik prostitusi lantaran konstruksi hukum yang ada hanya dapat menjerat pihak-pihak tertentu saja, yakni mucikari dan penyedia tempat prostitusi yang biasanya dikenakan Pasal 296 KUHP dan UU Perdagangan Orang.

Sedangkan bagi pelaku materil prostitusi yakni lelaki hidung belang dan sang perempuan penyedia jasa, secara umum tidak dapat dijerat secara hukum dengan alasan melakukan praktik prostitusi. Memang ada faktor-faktor lain yang menyebabkan kedua pihak dapat dijerat oleh hukum, misalnya tentang perzinahan, namun hal ini juga baru bisa terjadi dengan terpenuhinya syarat-syarat khusus yakni salah satu pihak atau kedua-duanya terikat perkawinan serta ada pengaduan dari istri/suami mereka (mengingat perzinahan adalah delik aduan). Jika syarat ini tidak terpenuhi, maka mereka tidak akan bisa dijerat secara hukum.

Kemudian ada lagi kondisi-kondisi di mana pihak materil yang melakukan praktik prostitusi dapat dijerat oleh hukum, misalnya jika pihak perempuan masih di bawah umur, maka si lelaki hidung belang dapat dijerat dengan UU Perlindungan Anak, selanjutnya apabila pihak perempuan mempromosikan dirinya (untuk prostitusi) melalui media daring dengan menampilkan konten pornografi maka bisa dijerat dengan UU ITE khususnya Pasal 27 ayat (1). Namun kembali lagi, jika ditinjau secara umum, maka pelaku materil praktik prostitusi tidak akan bisa dijerat secara hukum mengingat konstruksi hukum untuk menjeratnya belum ada.

Dalam hukum pidana terdapat postulat dasar yang menjadi landasan pokok dalam aktifitas penegakan hukum, postulat tersebut bernama asas legalitas yang berbunyi “suatu perbuatan tidak bisa dikatakan sebagai tindak pidana kecuali diatur terlebih dahulu dalam Undang-Undang sebagai sebuah tindak pidana” (nullum delictum noella poena sine praevia lege poenali). Asas ini sendiri tercantum secara letterlijk dalam pasal 1 ayat (1) KUHP.

Berangkat dari asas di atas, maka suatu perbuatan yang tidak diatur dalam Undang-Undang sebagai tindak pidana, otomatis tidak bisa dikatakan sebagai tindak pidana dan sekaligus tidak bisa diancam dengan pidana. Sejalan dengan hal ini, maka agar pelaku prostitusi dapat dijerat secara hukum (pidana), maka perbuatan prostitusi tersebut harus diatur terlebih dahulu dalam UU sebagai sebuah tindak pidana dengan konstruksi hukum yang memadai guna menjerat pelaku materil.

Dengan melihat fakta ini, maka ada dua hal yang dapat dilakukan. Pertama, berharap pada RUU KUHP yang baru agar segera disahkan, di mana terdapat perluasan konstruksi tindak pidana zina yang sekaligus dapat digunakan untuk menjerat pelaku prostitusi. Kedua, mendorong pihak legislatif untuk membuat UU khusus terkait prostitusi agar dapat menjerat pelaku materil prostitusi.

Pada prinsipnya, selama pendekatan hukum terhadap praktik prostitusi lemah, otomatis akan selalu tercipta ruang-ruang subur bagi tumbuhnya praktik prostitusi. Sejatinya lemahnya aspek hukum bisa dicover atau diminimalisir jika pendekatan sub-sub sistem sosial lainnya kuat (ekonomi, sosial, budaya dll), namun apabila pendekatan pada sub-sub sistem sosial lainnya juga cenderung lemah. Ya, suburlah praktik prostitusi di negara ini.

 

 

 

Bagikan :