Klitih dalam Perspektif Doktrin Hukum Pidana
Oleh: Pradikta Andi Alvat S.H., M.H.
Klitih merupakan diksi yang memiliki konotasi menyeramkan khususnya bagi masyarakat Yogyakarta dan sekitarnya. Klitih identik dengan kekerasan yang dilakukan secara acak untuk tujuan-tujuan non-spesifik. Nglitih juga bisa dimaknai aktivitas mencari eksistensi (keberanian) dan kesenangan di jalanan dengan melakukan kekerasan tanpa memandang siapa korbannya. Mirisnya, pelaku klitih mayoritas masih berstatus sebagai pelajar.
Dikutip dari tirto.id (05/02/2020), Kapolda DIY Irjen Asep Suhendar memaparkan data kasus klitih dari Januari tahun 2019 hingga Januari tahun 2020 tercatat ada 40 kasus yang dikategorikan sebagai klitih. Dari 40 kasus tersebut, terdapat 81 pelaku yang ditangkap dan 70 persen pelakunya pelajar.
Maraknya kasus klitih yang masih berstatus pelajar, regeneratif, dan repetitif menandakan minimnya peranan dan internalisasi intrinsik pendidikan bagi pembentukan karakter pelajar khususnya pelajar di Yogyakarta. Fenomena ini juga bisa dilihat sebagai kegagalan peranan preemtif dan preventif kepolisian dalam penanggulangan kejahatan (klitih).
Pada awal 2020, Gubernur DIY, Sri Sultan Hamengku Buwono X mengeluarkan statement bahwa Yogyakarta darurat klitih. Di sisi lain, tirto.id pada tanggal 5 Februari menulis sebuah berita (feature) dengan judul “Darurat Klitih Jogja dan Gagalnya Polisi Melindungi Warga”.
Menurut Aroma Elmina Martha, kriminolog sekaligus dosen Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia bahwa klitih (dahulu) sebenarnya bermakna netral. Menurutnya, klitih sebenarnya bermakna keluyuran untuk menghabiskan waktu luang. Dalam berbagai referensi, klitih sendiri pada awalnya merujuk pada aktivitas mengunjungi Pasar Klitikan Yogya, sebuah pasar “gelap” yang menjual barang-barang bekas.
Menurut Ahmad Fuadi dkk dalam Faktor-Faktor Determinasi Perilaku Klitih (2019), Klitih pada mulanya diartikan sebagai kegiatan jalan-jalan biasa tanpa tujuan yang jelas. Dalam konteks kenakalan remaja, klitih dapat diartikan sebagai kegiatan jalan-jalan (mengitari kota) untuk mencari pelajar dari sekolah lain yang dianggap musuh kemudian membuat kekerasan (tawuran, perkelahian dll).
Namun dalam dinamikanya, klitih kemudian bertransformasi tidak sekadar kenakalan remaja untuk menyerang pelajar lain yang dianggapnya musuh (sasaran spesifik) melainkan tindakan kekerasan kepada masyarakat umum dengan sasaran korban secara acak.
Dalam konteks doktrin hukum pidana, klitih (kejahatan dengan sasaran korban acak) digolongkan sebagai dolus indeterminatus yakni kesengajaan yang tidak ditujukan kepada obyek (korban) tertentu, tetapi pada sembarang obyek (acak) atau tidak memperdulikan siapa saja yang menjadi korban. Kebalikan dari dolus indeterminatus adalah dolus determinatus yakni kesengajaan yang ditujukan terhadap obyek tertentu.
Sebagai dolus indeterminatus, maka perbuatan klitih meskipun tidak memiliki sasaran obyek kejahatan yang ditentukan tetap dapat dimintai pertanggungjawaban pidana. Kesengajaan dalam doktrin hukum pidana memiliki arti mengetahui dan menghendaki. Jadi, tidak melihat perihal sasaran yang ditentukan maupun tidak.
Secara kualifikasi yuridis, klitih memang tidak dimasukan sebagai delik pidana secara letterlijk, namun substansi perbuatan-perbuatan klitih dapat masuk dalam berbagai rumusan delik, misalnya penganiayaan biasa (Pasal 251 KUHP), penganiayaan yang mengakibatkan korban meninggal dunia (Pasal 354 KUHP), hingga Pasal 338 KUHP tentang pembunuhan.
Menurut hemat saya, persoalan klitih di Yogyakarta tidak dapat direstriksi sekadar permasalahan hukum tetapi harus dilihat sebagai sebuah gejala sosial yang lebih luas. Jika dilihat sekadar sebagai permasalahan hukum, maka orientasi solusinya adalah represif (penegakan hukum pidana) dan hal ini terbukti gagal dalam memberantas praktik klitih, realitasnya klitih terus saja berulang dari generasi ke generasi.
Namun, jika klitih diletakkan sebagai gejala sosial yang lebih luas, maka orientasi solusi untuk mengatasi klitih menjadi lebih komprehensif dan multi-sektoral, tidak sekadar penegakan hukum, tetapi juga melibatkan pendekatan multi-aspek, seperti pendidikan, ekonomi, dan sosial-budaya sebagai bagian kesatuan yang utuh dan integral. (*)