Seteru Bisnis Mantan Dirkeu Pusri Vs Sahabat yang Terdzolimi (bagian 2)

** Cerita Uang Titipan Rp 10 Milyar dan Kwitansi Kosong, Siapa yang Berbohong?
JAKARTA — Tak pernah berhasil meminta uang Rp 14 Miliar dari H. Abdul Rohim, akhirnya Syaiful Amir mulai gerah. Lewat kuasa hukumnya, Zulbahri SH, M.Hum, ia mengajukan gugatan perdata pada 28 Nopember 2016. Seperti telah diduga pihak keluarga, hukum tidak berpihak kepada Abdul Rohim dan ia dinyatakan bersalah.
Gugatan perdata itu didaftarkan di Kepaniteraan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, dengan register No.839/Pdt.G/2016/PN Jkt.Sel. Banyak cerita ‘menarik’ yang terungkap di persidangan. Salah satunya, soal pernyataan Syaiful Amir yang selalu menitipkan uang cash ratusan juta bahkan miliaran kepada Abdul Rohim untuk persiapan membeli tanah. Padahal, Syaiful Amir memiliki dua bank, yakni bank Muamalat dan Bank Perkreditan Rakyat.
Lantas mengapa Syaful Amir berani menitipkan uang kepada Abdul Rohim dalam jumlah besar? Di awal sidang, pertanyaan ini sempat dilontarkan Effendi Mukhtar, SH. MH, selaku Ketua Majelis Hakim, serta Hakim Anggota Ganjar Pasaribu, SH. MH, dan Asiadi Sembiring, SH. MH.
Pertanyaan ini lantas dijawab Zulbahri SH, selaku kuasa hukum Syaiful Amir (penggugat), bahwa tindakan itu dilakukan karena kliennya sangat percaya dengan kejujuran Abdul Rohim. Dan kebiasaan itu telah terjadi sejak awal Syaiful Bahri mengenal Abdul Rohim di era tahun 1976 hingga puluhan tahun berikutnya.
Termasuk peristiwa penitipan uang secara bertahap yang jumlahnya sebesar Rp. 10 Milyar, sebagaimana tertulis pada kwitansi tanggal 27 Juli 2009. Dan Zulbahri mengatakan Abdul Rohim sendirilah yang menuliskan kwitansi tanda terima penitipan uang tersebut.
Selanjutnya, jelas Zulbahri, setelah menerima titipan uang bertahap tersebut, Abdul Rohim tidak pernah mempergunakannya untuk membeli lahan/tanah. Atas dasar itulah, penggugat meminta kembali uang tersebut. Tapi Abdul Rohim, disebutkan selalu menghindar dengan berbagai alasan.
Akibat dari perbuatan Abdul Rohim tersebut, menurut Suaiful Amir, dirinya menderita kerugian sebesar Rp. 10 Milyar ditambah bunga sesuai ketentuan 6% pertahun, selama 7 (tujuh) tahun = 7 x (6% x Rp. 10 Milyar) = Rp 4,2 Milyar, Sehingga total kerugian menjadi Rp 14,2 Milyar.
Penggugat juga berulang kali menghubungi tergugat guna penyelesaian secara musyawarah. Namun, tidak ada hasilnya, sehinggal terpaksa menempuh jalur hukum lewat pengadilan perdata.
Kepada pengadilan, penggugat juga memohon Pengadilan Negeri Jakarta Selatan meletakkan sita jaminan terhadap barang milik Tergugat berupa 1 unit rumah berikut tanahnya yang terletak di jalan Kemang Timur VIII No. 2 Kelurahan Bangka, Kecamatan Mampang Prapatan, Jakarta Selatan.
Kemudian satu rumah berikut tanahnya di Kemang Timur VIII No.9 Kelurahan Bangka Kecamatan Mampang Prapatan – Jakarta Selatan. Dan 1 unit stasiun pompa bensin umum (SPBU 34-12409) yang terletak di Jalan Karang Tengah Raya, Jakarta Selatan.
Kwitansi Banyak Kejanggalan
Cerita kuasa hukum Syaiful Amir tentang titipan uang di hadapan majelis hakim ini, tentu saja dibantah keras oleh pihak Abdul Rohim. Melalui kuasa hukumnya, Hendrik Tomasoa, SH MH. Satu persatu kejanggalan pada pada kwitansi itu diurai.
Pertama, kuasa hukum Abdul Rohim mempertanyakan, jika ada proses penitipan uang secara bertahap, tentu ada bukti tanda terima, dimana uang itu diserahkan, disaksikan siapa dan tanggal berapa saja. Bukti-bukti ini penting untuk memperjelas adanya transaksi penyerahan yang bisa dijadikan landasan hukum.
Artinya, menurut kuasa hukum Abdul Rohim, cerita penggugat (Syaiful Amir) menitipkan uang dengan jumlah total Rp 10 Milyar itu, hanya dibuat-buat, dan tidak pernah terjadi. Apalagi pada tahun 2009 itu, Syaiful Amir sudah memiliki beberapa bank yang menghimpun dana masyarakat. Diantaranya Bank Mu’amalat, Bank Dinar dan Bank Perkreditan Rakyat.
Selanjutnya kuasa hukum Abdul Rohim juga melihat adanya kejanggalan pada tulisan di kwintasi titipan uang Rp 10 Miliar. Kejanggalan itu mencakup soal tinta pena yang digunakan, bentuk huruf tulisan tangan asli Abdul Rohim, yang sama sekali berbeda dengan tulisannya sehari-hari.
Seperti terlihat pada tulisan ‘Tanggal 27 Juli 2009’. Menurut Hendrik Tomasoa, merupakan tulisan tanggal yang dibuat sendiri atau direkayasa. Bukan tulisan Abdul Rohim.
Demikian pula pada tulisan ”Telah terima dari : Drs. Syaiful Amir,” selain bukan tulisan Abdul Rohim, huruf dan tinta pena yang tertera berbeda dengan tinta pena, yang ada pada dua kwintasi kosong yang dipegang Abdul Rohim sejak 2013.
Demikian pula tulisan ”Uang sejumlah: Sepuluh Milyar Rupiah” dan tulisan ”Untuk Pembayaran: Sebagai Titipan”. Itu jelas tulisan orang lain, bukan tulisan tangan Abdul Rohim. Yang diakui kebenarannya, hanyalah meterai 6000 rupiah yang dibubuhi tanda tangan Abdul Rohim.
Menurut Tomasoa, kuat dugaan bahwa Syaiful Amir (Penggugat) telah menggunakan kwitansi kosong yang diteken Abdul Rohim pada 2013, lalu kemudian ditambahi tulisan lainnya, sebagaimana tertera dalam kwitansi tersebut.
Atas kejanggalan ini, Abdul Rohim bersama kuasa hukumnya sempat mendatangi Polres Metro Jakarta Selatan pada 25 Januari 2017, pukul 11.00, untuk membuat Laporan Polisi mengenai kwitansi penitipan uang yang diduga direkayasa itu. Namun saat itu pihak Polres menyarankan supaya pelapor membuat “Surat Permohonan Perlindungan Hukum” saja.
Selain soal kwintasi kosong yang diteken, kuasa hukum Abdul Rohim, juga membantah jika selama berpuluh tahun Abdul Rohim sering menerima titipan uang dari Syaiful Amir, untuk bekal membeli tanah jika ada yang menjual dan cocok harga.
Yang terjadi selama ini, justru Abdul Rohim lebih banyak berinisiatif sendiri mencari orang yang hendak menjual tanah. Kemudian, baru ia menawarkan kepada Syaiful Amir. Jika setuju barulah ia meminta Syaiful Amir memberikan uangnya untuk mengurus pembayaran dan peralihan hak. Setidaknya untuk uang muka, tanda jadi.
Sebaliknya dalam beberapa transaksi justru Abdul Rohim sering menggunakan uang pribadi. Misalnya untuk membayar uang muka tanda jadi ketika negosiasi jual beli disepakati. Setelah itu untuk pembayaran pelunasan, barulah ia minta Syaiful Amir, mengeluarkan uangnya. Biasanya menggunakan ceque dari bank yang dimiliknya itu.
Bagi Abdul Rohim sendiri, menyimpan uang cash di rumah dalam jumlah ratusan juta bahkan sampai milyaran, sangat berisiko. Seperti resiko dirampok dan dicuri. Lagi pula, pekerjaan mencari tanah yang mau dijual, bukanlah mudah. Butuh waktu berbulan-bulan bahkan tahunan. Jadi sangat tidak mungkin Abdul Rohim menerima titipan uang cash untuk disimpan di rumah.
Tidak Ada Saksi Ahli
Begitu gamblang dan logisnya penjelasan bantahan yang dilontarkan kuasa hukum Abdul Rohim, atas tuduhan penggelapan uang titipan, ternyata tak bermuara pada ikhwal perlunya menghadirkan saksi ahli forensik untuk menelisik lebih jauh, soal kwitansi penitipan uang tersebut.
Majelis hakim, sebenarnya sudah membuka ruang bagi kuasa hukum Abdul Rohim, untuk mendatangkan saksi-saksi termasuk saksi ahli tersebut. Tapi sayangnya kesempatan tersebut tidak dimanfaatkan. Padahal, inti dari perkara ini adalah: soal ada tidaknya penyerahan uang kontan sebanyak Rp 10 Milyar oleh Syaiful Amir kepada Abdul Rohim, pada tanggal 27 Juli 2009, sebagaimana dituduhkan. Kemudian soal benar tidaknya kwitansi tersebut merupakan tulisan tangan Abdul Rohim.
Berbeda dengan Syaiful Amir, untuk pembuktian keabsahan kwitansi serta adanya penyerahan uang tunai secara vertahap tersebut, ia justru menghadirkan tiga orang saksi.
Saksi pertama adalah H. Efendi HM, yang dulunya adalah sopir pribadi Abdul Rohim sendiri. H. Effendi mengaku sudha bersama dengan H. Abdul Rohim sejak tahun 1980, yang berprofesi sebagai perantara untuk mencari tanah.
H. Efendi juga membenarkan bahwa Syaiful Amir pernah pernah bercerita soal peitipan uang kepada Abdul Rohim sebesar Rp. 10 Milyar pada tahun 2009, untuk keperluaan pembelian tanah. Hanya saja, H Efeendi mengaku tidak melihat secara langsung fisik uang Rp. 10 Milyar tersebut. Ia hanya diperlihatkan kwitansinya oleh Syaiful Amir di rumahnya.
Saksi kedua adalah Djaswadi, yang juga sopir pribadi Syaiful Amir. Djaswadi pun mengaku pernah mengetahui majikannya, Syaiful Amir, menyuruh Abdul Rohim untuk mencari anah. Selain itu, ia juga mengaku pernah melihat Abdul Rohim membawa uang titipan Syaiful Amir. Uangnya di dalam tas koper untuk pembelian tanah.
Hanya saja, sama seperti saksi pertama, Djaswadi pun mengaku tidak melihat langsung uang titipan yang jumlahnya Rp 10 Milyar tersebut. Ia hanya mendapat informasi dari Syaiful Amir, yang menerangkan telah menitipkan uang sebesar Rp 10 Milyar secara bertahap kepada Abdul Rohim.
Saksi ketiga adalah Juni Herwati, Staf pegawai di perusahaan milik Syaiful Amir sendiri. Di bawah sumpah
Juni yang bekerja sejak tahun 2004 hingga sekarang ini, menjelaskan bahwa pada tahun 2009, Syaiful Amir sebagai Komisaris Bank Muamalat dan Komisaris di Bank lain, sempat berurusan dengan Abdul Rohim mengenai jual beli tanah.
Namun ia lupa sudah berapa kali transaksi jual beli tanah dilakukan di tahun tersebut. Tapi setidaknya lebih dari 10 kali. Saksi mengaku bahwa setiap transaksi, dia yang membuatkan kwitansinya.
Mengenai Syaiful Amir pernah menitipkan uang kepada H. Abdul Rohim sebesar Rp.10 Milyar pada 27 Juni 2009, saksi Juni pun mengaku tidak tahu dan tidak melihat langsung.
Kesimpulannya, dari ketiga saksi ini jelas bahwa mereka tak mengetahui ada tidaknya penitipan uang yang nilainya mencapai Rp 10 Milyar, dari Syaiful Amir kepada Abdul Rohim secara bertahap. Mereka hanya tahu, dari informasi lisan yang diucapkan Syaiful Amir, sembari menunjukkan bukti kwitansinya. Dan apakah kwintasi itu benar tulisan Abdul Rohim, mereka pun tak pernah menilisik soal itu, karena memang bukan kapasitas mereka.
Setelah memperhatikan dalil-dalil gugatan dan mempertimbangkan jawaban para pihak, majelis hakim akhirnya mengambil kesimpulan tersendiri, bahwa dalam perkara ini, tergugat H Abdul Rohim dinilai telah melakukan pelanggaran hukum meskipun akibat perbuatan itu tidak dia kehendaki. Hal itu diatur dalam pasal 1365 KUH Perdata.
Sebaliknya hakim juga mengabulkan gugatan Syaiful Amir sebagian, yakni menyatakan tergugat Abdul Rohim bersalah melakukan perbuatan lemawan hukum (onrechtmatige daad). Kemudian menghukum tergugat harus mengembalikan uang titipan sebesar Rp 10 Miliar plus bunganya Rp 4.2 Miliar kepada penggugat.
Mengenai permohonan penggugat agar pengadilan melakukan sita jaminan terhadap harta benda milik Abdul Rohim, majelis hakim menyatakan menolak, karena dianggap tidak memiliki alasan urgen dan mendesak.
Atas keputusan ini, Abdul Rohim pun akhirnya semakin terpojok. Ia yang semula berharap pengadilan bisa mengungkap kebenaran secara terang benderang, justru tak terkabulkan dan gelap. Sepekan kemudian ia pun mengajukan banding, dengan harapan proses hukum tingkat kedua ini, dapat memperjelas siapa sesungguhnya yang berbohong. (bersambung/dm)
*) Kisah ini juga disarikan dari Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Nomor: 839/Pdt.G/2016/PN JKT.SEL
Tanggal 8 Juni 2017, yang dilansir website Mahkamah Agung RI.
=============================================================================
