Konstruksi ‘Notoire Feiten Notorius’ dalam Pembuktian Hukum Pidana
Oleh: Pradikta Andi Alvat S.H., M.H. |
Dalam doktrin hukum acara pidana dikenal beberapa teori pembuktian. Teori pembuktian di sini berbicara mengenai dasar bagi hakim untuk membuktikan kesalahan terdakwa sekaligus dasar formal untuk menjatuhkan pemidanaan. Berikut beberapa teori pembuktian pidana yang dikenal di dalam doktrin.
Pertama, teori pembuktian conviction in time. Adalah pembuktian dengan hanya menggunakan keyakinan hakim an sich tanpa perlu adanya alat bukti formal.
Kedua, teori pembuktian conviction in raisonee. Adalah pembuktian dengan menggunakan keyakinan hakim tanpa alat bukti formal tetapi keyakinan hakim tersebut harus dilandasi oleh alasan dan argumentasi yang logis.
Ketiga, teori pembuktian positif. Sistem pembuktian yang berpedoman pada alat bukti formal sebagaimana ditentukan dalam undang-undang tanpa adanya keyakinan hakim.
Keempat, teori pembuktian negatif. Sistem pembuktian yang berpedoman pada alat bukti formal sebagaimana ditentukan oleh undang-undang serta keyakinan hakim.
Pembuktian dalam hukum acara pidana Indonesia sendiri menganut teori pembuktian negatif. Hal ini bisa dilihat melalui ketentuan Pasal 183 KUHAP “Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya”
Selanjutnya dalam Pasal 184 ayat (1) ditentukan jenis-jenis alat bukti, meliputi: keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk, dan keterangan terdakwa. Kemudian dalam Pasal 184 ayat (2) terdapat klausula “Hal yang secara umum sudah diketahui tidak perlu dibuktikan”. Ketentuan Pasal 184 ayat (2) KUHAP ini disebut sebagai Notoire Feiten Notorius.
Dalam penjelasan Pasal 184 ayat (2) sendiri tidak ditemukan maksud (arti) dari pada “Hal yang secara umum sudah diketahui tidak perlu dibuktikan”.
Yahya Harahap dalam bukunya Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP (2010) menjelaskan bahwa arti dari pada “hal yang secara umum sudah diketahui tidak perlu dibuktikan” sebagaimana tertuang dalam Pasal 184 ayat (2) KUHAP merujuk pada keadaan atau peristiwa yang diketahui oleh umum. Atau perihal suatu keadaan yang akan selalu mengakibatkan dampak sebagaimana yang telah menjadi pengalaman umum.
Contoh dari pada “Hal yang secara umum sudah diketahui tidak perlu dibuktikan” (notoire feiten notorius) misalnya api itu bersifat panas, banjir itu menyebabkan genangan air, lahar dari gunung meletus itu panas, pisau itu termasuk senjata tajam, dan hal umum lainnya.
Dalam relasinya dengan ihwal pembuktian, notoire feiten notorius memiliki peran konstruksi yang harus dipahami. Pertama, hakim dapat menjadikan notoire feiten notorius sebagai kenyataan untuk menguatkan argumentasi putusan terkait penilaian terhadap suatu peristiwa atau keadaan tanpa perlu membuktikan lagi.
Kedua, notoire feiten notorius bukanlah alat bukti formal sehingga tidak bisa menjadi dasar validitas bagi hakim untuk membuktikan kesalahan terdakwa dan menjatuhkan pidana. Dasar validitas bagi hakim untuk membuktikan kesalahan terdakwa dan menjatuhkan pidana merujuk pada ketentuan Pasal 183 KUHAP yakni minimal 2 alat bukti serta keyakinan hakim.
Ketiga, notoire feiten notorius dapat digunakan oleh hakim untuk memperoleh dan memperkuat keyakinan yang didapat dari alibi atau keterangan terdakwa, saksi, atau penuntut umum ketika merujuk pada peristiwa atau keadaan tertentu yang resultantenya sudah menjadi pengalaman umum ‘bahwa hasilnya akan demikian’ namun diingkari oleh terdakwa, saksi, atau penuntut umum. Misalnya ketika terdakwa membuat alibi bahwa ia tidak menyangka bahwa pisau yang digoreskan ke tubuh korban dapat menyebabkan korban terluka. Padahal menurut pengalaman umum (notoire feiten notorius) pisau merupakan benda tajam yang bisa menyebabkan luka jika digoreskan pada tubuh manusia.