Panas !!! Kursi Calon Presiden 2024
Oleh: Siti Rokayah
(Mahasiswa Stisipol Raja Haji Tanjungpinang) Program Studi Ilmu Administrasi Publik
Populinews.com l Kompetisi Pemilihan umum (Pemilu) dan demokrasi Partai terus berjalan seperti sebelumnya. Diketahui, Pemilu di Indonesia kental dengan keberagaman serta demokrasi nya yang kuat, hal itu terlihat dari salah satu penilaian yang menunjukkan bahwa sistem pemilihan di Indonesia merupakan sistem yang paling komplex dan terrumit dalam sistem pemilihan di seluruh dunia.
Bahkan Pemilu di Indonesia dijuluki dengan sebutan “The biggest one-day election in The world” atau (Pemilihan satu hari terbesar di dunia) dimana pelaksanaannya dilakukan secara serentak seperti Pemilihan kepala daerah (Pilkada), dan Pemilihan Anggota Legeslatif (Pileg). Itulah sebabnya mengapa Pemilu Ini merupakan ajang terbuka untuk mendeklarasikan yang terbaik dari yang terbaik.
Komisi Pemilihan Umum (KPU) telah menetapkan 17 Partai politik (Parpol) sebagai peserta Pemilu 2024 dan saat ini sejumlah Parpol pun telah mendeklarasikan calon Presidennya. Dalam persaingan panasnya bangku calon Presiden pada Pemilu 2024, peta koalisi Partai-partai juga sudah bisa kita prediksi melalui sudut pandang dan analisa, baik melalui diri sendiri maupun dari pendapat pengamat dan pemberitaan media.
Poros Koalisi Partai pasti akan terbentuk nantinya, tetapi dinamika politik sekarang ini, Capres yang di deklarasikan belum tentu dapat di usung sebagai calon Presiden jika Koalisi Parpol belum mencukupi Parliamentary Threshold seberat 20% dukungan dari kursi DPR. Menurut saya, akan ada koalisi yang terbentuk dari adanya kesinambungan antara Parpol untuk membuat Poros Koalisi yang kuat dari gabungan beberapa Parpol.
Poros Koalisi ini, tidak lain merupakan strategi politik dalam mencari dukungan suara Partai dan pendukung-pendukung Partai lainnya agar mencapai tujuan di adakanya Pemilu. Sebagaimana di ketahui tujuan utama Partai politik dalam ajang pemilu ini adalah agar meraih kemenangan. Sedangkan Keelektabilitasan Partai bisa dinilai dari berhasil atau tidaknya sebuah partai dalam menghasilkan calon yang kuat nantinya untuk kursi hangat Presiden 2024.
Padahal esensi dari pelaksanaan Pemilu adalah suatu pemenuhan sarana mewujudkan kedaulatan rakyat agar dapat melahirkan transisi kekuasaan dengan cara yang bermartabat dan menjunjung nilai-nilai demokratis sebagaimana yang sudah diatur dalam konstitusi. Dari berita yang beredar dapat diprediksi Poros Koalisi akan terbagi menjadi beberapa poros yang Pertama, Poros Koalisi Indonesia Bersatu (KIB) yang beranggotakan Partai Golkar, PAN, dan PPP sebanyak (25,87 persen Kursi DPR).
Kemudian yang Kedua Poros yang beranggotakan Partai NASDEM, PKS, dan Demokrat (28,50 persen kursi DPR). lalu disusul dengan Poros Ketiga yang beranggotakan Partai Gerindra dan PKB (23,25 persen kursi DPR), terakhir Poros Keempat yang beranggotakan Partai PDI Perjuangan yang menjadi satu-satunya partai politik yang dapat mengusung capres dan cawapresnya sendiri tanpa berkoalisi dengan partai lain dengan persentase perolehan kursi 22, 38 persen kursi DPR.
Namun, meskipun begitu poros koalisi diatas tersebut bisa saja berubah dan mengerucut menjadi tiga poros atau bahkan dua poros koalisi, tergantung elektabilitas dari kesinambungan kesepakatan dan kalkulasi politik dari tiap-tiap Parpol. Hal inilah yang ingin saya sampaikan bahwa kondisi sekarang merupakan ajang saling mendeklarasikan Calon Presiden (Capres) pilihan Partai untuk memanaskan kursi Pemilu mendatang.
Terlebih lagi hal ini dilakukan agar mendapatkan dukungan suara rakyat dari jauh jauh hari. karena yang menjadi tujuan utamanya adalah kemenangan. Seperti baru-baru ini Partai Nasdem Telah mendeklarasikan Anies Baswedan sebagai calon presiden yang akan mereka usung dalam pilpres 2024 mendatang, Erick thohir juga di isukan bakal menjadi Calon kuat Capres karena jabatan yang sekarang ia pegang dinilai berhasil ia kendalikan sehingga dari segi ekonomi Erick berhasil meningkatkan pertumbuhan ekonomi Negara Melalui BUMN.
Adapun Skenario Empat Poros Koalisi yang mungkin saja bisa terjadi, antara lain; Pertama, jika Nasdem, Demokrat, dan PKS telah sepakat berkoalisi maka komposisi idealnya mereka akan memasangkan Anies Baswedan dan Agus Harimurti Yudoyono (AHY). jika melihat hubungan ketiga partai tersebut sudah terjalin sejak lama. PKS pun secara rasional tentu akan memilih poros koalisi yang dapat menampung kepentingan politik mereka, kecuali koalisi Gerindra dan PKB atau Koalisi KIB memberikan penawaran yang lebih rasional untuk kepentingan Partai PKS karena peluang berkoalisi dengan PDIP rasanya sulit tercapai jika melihat hubungan politik keduanya dalam sepuluh tahun terakhir.
Kemudian yang Kedua, koalisi yang digagas Golkar, PPP, dan PAN sampai detik ini Belum ada calon yang mereka usung nantinya untuk maju sebagai capres maupun cawapres. Sosok Airlangga Hartanto sendiri saat ini dinilai belum memiliki elektabilitas yang begitu kuat untuk diusung sebagai capres jika dibandingan dengan nama-nama populer, seperti Ganjar Pranowo, Ridwan Kamil, Erick Tohir, dan Khofifah Indar Parawansa. Namun, jika menggunakan sudut perspektif demokratisasi lain, idealnya memang sebuah parpol wajib mengusung ketua umumnya sendiri untuk maju dalam bursa calon presiden. Karena tidak akan menjadi kegagalan tersendiri bagi partai politik dalam melakukan kaderisasi jika dalam kontestasi pemilu justru harus mengusung capres dari luar partai atau bahkan mengusung kader partai politik lain.
Kondisi seperti itu bisa saja terjadi kepada partai PDIP, andaikan PDIP nantinya tidak mengusung ganjar pranowo. Peluang ganjar diusung oleh partai lain sangat mungkin terjadi, dan poros koalisi golkar, ppp, dan pan sangat memungkinkan memanfaatkan momentum untuk mengusung ganjar pranowo. begitupula dengan ridwan kamil, jika resmi bergabung sebagai kader partai golkar maka besar peluangnya diusung baik sebagai capres maupun cawapres. apalagi di berbagai kesempatan ridwan kamil kerap menyatakan siap diusung,meskipun kecil kemungkinan hanya sebagai cawapres. namun sekali lagi politik itu dinamis dan susah ditebak alurnya, apapun bisa terjadi sampai saat hari H pemilu nya.
Selanjutnya yang ketiga, Poros Gerindra dan PKB, poros koalisi ini sudah lama membangun poros pondasi mereka di Tahun tahun sebelumnya. menurut penulis kedua partai inilah yang bisa menjadi percontohan dalam demokratisasi partai politik di Indonesia yang tetap konsisten mengusung ketua umumnya masing-masing untuk mencalonkan diri sebagai capres atau cawapres dikenal mempunyai kader yang militan, merupakan modal utama partai ini unjuk gigi dalam kepengurusan yang solid untuk memperjuangkan capres yang merupakan ketua umumnya sendiri. Berbeda kondisi jika yang seandainya yang diusung justru figur luar atau figure dari kader partai politik lain, militansi kader bisa saja tidak maksimal dan akhirnya koalisi yang terbangun hanyalah gerbong kosong.
Kemudian yang terakhir, PDIP satu-satunya partai politik yang bisa saja mengusung capres dan cawapres mereka sendiri. Dari berita yang beredar PDIP berencana ingin memasangkan duet maut Puan Maharani-Ganjar Pranowo ataupun sebaliknya yang sangat memungkinkan bagi PDIP untuk mempertahankan Kekokohan mereka. Namun, secara sejarah sangat sulit memenangkan pemilu presiden tanpa berkoalisi dan dukungan dari partai lain sehingga tentu PDIP sudah mempersiapkan strategi politik yang matang untuk kembali dalam jalur mempertahankan kekuasaan yang sudah dijalani selama sepuluh tahun terakhir.
Menurut saya PDIP terlalu memaksa mengusung Puan Maharani sebagai capres karena diketahui Puan maharani sering membuat pernyataan dan tindakan yang kontroversial di hadapan public. Hal ini akan menjadi tantangan tersendiri bagi PDIP agar menjaga elektabilitas Puan jika ingin di calonkan sebagai presiden nantinya. Dari berbagai lembaga survey, Puan hanya berada di lima besar dibandingan nama populer lainnya. Sehingga pilihan yang sangat rasional bagi PDIP yakni bergabung dengan poros koalisi lainnya. Terlebih lagi dalam politik apapun bisa terjadi, hari ini lawan, besok mungkin saja bisa jadi kawan.
Skenario Pilpres Dua Putaran jika pada akhirnya ada empat atau tiga poros koalisi yang terbentuk, maka skenario pilpres putaran bisa saja didesain sejak awal sebagai antisipasi kemungkinan yang bisa saja terjadi. Di sinilah capres tertentu kemungkinan akan terjadi. Sehingga pada akhirnya akan ada pasangan capres dan cawapres yang tereliminasi pada pemilu presiden putaran pertama jika tidak ada pasangan capres dan cawapres memperoleh suara kemenangan 50 persen + 1 dan sebaran suaranya minimal 20 persen dari setengah jumlah provinsi yang ada di Indonesia .Pada akhirnya, koalisi yang capres dan cawapresnya tereliminasi kemungkinan akan bergabung ke koalisi yang akan bertarung di pilpres putaran kedua. Maka, di sinilah konsistensi dan komitmen partai koalisi dipertaruhkan, apakah tetap kompak atau kah malah terbelah ke dua kubu koalisi yang akan bertarung di pilpres putaran kedua.
Menurut saya, koalisi untuk menjegal capres tertentu sangat memungkinkan untuk terjadi. Setidaknya ada dua nama yang berpotensi untuk dijegal, yakni Anies Baswedan dan Ganjar Pranowo. Kedua nama tersebut secara elektabilitas dan popularitas, sangatlah berpeluang menjadi presiden, akan tetapi kedua punya masalah yang sama yakni partai politik. Anies bukanlah kader partai politik, meski sudah dideklarasikan oleh Partai Nasdem posisinya rentan mendapatkan penolakan di internal partai ataupun dengan internal koalisi nantinya.
Sebaliknya, Ganjar Pranowo merupakan kader militan PDIP,akan tetapi tidak akan mendapatkan restu dari ketua umum untuk menjadi calon presiden karena ada putri ketua umum yang diutamakan. Ganjar berpotensi tidak mendapat tiket untuk menjadi capres jika masing-masing poros koalisi menutup pintu baginya, dan Anies Baswedan berpotensi digulingkan pada pilpres putaran kedua jika dia tidak mampu menang mutlak di pilpres putaran pertama. Pada akhirnya koalisi menjadi anomali dalam sistem pemilu Indonesia. Penyebabnya adalah presidential threshold mewajibkan partai politik harus berkoalisi untuk mengusung capres dan cawapres.
Padahal secara konstitusional apabila partai politik sudah lolos menjadi peserta pemilu maka sudah dapat mengusung capres dan cawapresnya. Namun, semua upaya hukum setiap partai politik untuk mengusung capres dan cawapresnya sudah ditutup rapat oleh Mahkamah Konstitusi dengan tetap menyatakan presidential threshold tetap konstitusioanal karena merupakan open legal policy pembentuk undang-undang.
