Pengadilan dan Akses Keadilan
Oleh: Pradikta Andi Alvat
PNS Analis Perkara Peradilan (Proyeksi Calon Hakim) PN Rembang
Pengadilan merupakan badan peradilan yang memiliki mandat konstitusional untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan. Secara yuridis, ketentuan Pasal 24 ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 menegaskan bahwa kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan.
Kekuasaan yang merdeka sendiri memiliki dua arti yakni, tidak berada dibawah cabang kekuasaan lainnya dan tidak boleh ada intervensi apapun baik dari cabang kekuasaan lainnya (internal) maupun dari elemen eksternal.
Selanjutnya, Pasal 24 ayat (2) UUD NRI Tahun 1945 mengatakan kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung (MA) dan badan peradilan dibawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi (MK).
Dalam sudut pandang konstitusi, pengadilan adalah lembaga yang merepresentasikan kekuasaan yudikatif demi tegaknya hukum dan keadilan. Oleh sebab itu, fungsi utama dari pengadilan adalah menyelenggarakan peradilan (menerima, memeriksa, mengadili, dan memutus suatu perkara hukum) agar hukum dan keadilan dapat tegak. Inilah fungsi teknis yudisial dari pengadilan.
Selain fungsi teknis yudisial, pengadilan juga memiliki fungsi penting lainnya yakni kewajiban memberikan akses keadilan kepada masyarakat, khususnya masyarakat miskin.
Menurut Adrian Bedner dan Ward Berenschot (2007), akses terhadap keadilan adalah akses bagi masyarakat khususnya kelompok masyarakat miskin terhadap mekanisme yang adil, efektif, dan akuntabel untuk melindungi hak serta menghindari penyalahgunaan kekuasaan.
Dalam konstitusi memang tidak disebut eksplisit tentang hak terhadap akses keadilan, namun secara implisit hak terhadap akses keadilan tercermin dalam Pasal 28D angka 1 (setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum) dan Pasal 28H angka 2 (setiap orang berhak mendapat kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan) UUD NRI Tahun 1945.
Secara sosiologis, ketentuan mengenai akses keadilan kepada masyarakat miskin didasarkan kepada konsepsi pemikiran bahwa masyarakat miskin merupakan kelompok rentan dalam konteks relasi kuasa sehingga menempatkan masyarakat miskin dalam posisi inferior dan minim akses terhadap keadilan. Oleh sebab itu, rawan terjadi perampasan hak-haknya dalam orkestrasi sistem peradilan yang merupakan representasi dari simbol-simbol kekuasaan (eksekutif dan yudikatif).
Khusus dalam perkara pidana, masyarakat miskin yang terjerat kasus hukum akan ‘berhadapan’ dengan jaksa penuntut umum sebagai representasi kekuasaan eksekutif. Ataupun di perkara perdata, masyarakat miskin rawan diperlakukan secara tidak adil baik oleh intervensi dari pihak lawan maupun tindakan semena-mena dari aparatur pengadilan sehingga mengabaikan hak-hak hukum masyarakat miskin dalam peradilan. Maka dari itu, akses terhadap keadilan menjadi urgen disini sebagai titik keseimbangan dan perlindungan hak asasi.
Berpijak dari fenomena sosiologis tersebut, maka UU Kekuasaan Kehakiman, UU Bantuan Hukum, dan UU Mahkamah Agung mengamanatkan pemenuhan akses terhadap keadilan bagi masyarakat miskin di pengadilan. Mahkamah Agung sendiri telah membuat peraturan teknis internal sebagai aturan pelaksana dari UU Kekuasaan Kehakiman dan UU Mahkamah Agung yakni Peraturan Mahkamah Agung Nomor Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pedoman Pemberian Layanan Hukum Bagi Masyarakat Tidak Mampu di Pengadilan.
Berdasarkan Perma Nomor 1 Tahun 2014, akses keadilan terhadap masyarakat miskin terbingkai dalam jenis layanan hukum. Terdapat tiga jenis layanan hukum yang dapat diterima oleh masyarakat miskin.
Pertama, pembebasan biaya perkara. Merupakan wujud kemudahan akses keadilan terkait keterjangkauan biaya bagi masyarakat miskin. Dengan syarat menunjukkan Surat Keterangan Tidak Mampu (SKTM) maupun kartu jaminan sosial lainnya serta kuota anggaran pembebasan biaya perkara yang masih tersedia, maka masyarakat miskin dapat mengakses layanan pembebasan biaya perkara di pengadilan.
Kedua, sidang di luar gedung pengadilan. Merupakan wujud kemudahan aksesbilitas peradilan bagi masyarakat miskin yang memiliki hambatan secara ekonomi, fisik, maupun letak geografis. Sidang pengadilan dapat dilaksanakan di luar gedung pengadilan sepanjang kuota anggaran untuk sidang di luar gedung pengadilan tersedia dan terpenuhinya syarat administratif dari pemohon (SKTM, surat jaminan sosial lainnya).
Ketiga, posbakum pengadilan. Layanan posbakum terhadap masyarakat miskin di pengadilan meliputi pemberian informasi, konsultasi, advis hukum, atau bantuan pembuatan dokumen hukum yang dibutuhkan. Layanan Posbakum memberikan kemudahan bagi masyarakat untuk mendapatkan sekaligus melindungi hak-hak hukumnya dalam peradilan.
Akses keadilan bagi masyarakat miskin di pengadilan pada dasarnya tidak sekadar akses untuk mendapatkan layanan hukum (law services) saja tetapi juga berupa akses kemudahan informasi (tersedia benner di area pengadilan) terkait pelaporan bagi aparatur pengadilan yang melakukan tindakan-tindakan menyalahgunaan kewenangan bisa melalui Bawas Mahkamah Agung, Ombudsman, maupun KPK. Akhir sekali, yang perlu dipahami bahwa optimalisasi layanan hukum terhadap pemenuhan akses keadilan bagi masyarakat miskin harus didukung dengan keberpihakan politik anggaran yang memadai. (*)
