Oleh: Pradikta Andi Alvat

Lanskap MUI dalam Sistem Ketatanegaraan

Secara historis, Majelis Ulama Indonesia (MUI) didirikan pada tanggal 26 Juli atau 7 Rajab 1395 Hijriah tahun 1975 di Jakarta sebagai prakarsa shasil dari pertemuan para ulama, cendekiawan dan zuama yang datang dari berbagai penjuru tanah air, antara lain meliputi dua puluh enam orang ulama yang mewakili 26 Provinsi di Indonesia pada, 10 orang ulama yang merupakan unsur dari ormas-ormas Islam tingkat pusat, yaitu, NU, Muhammadiyah, Syarikat Islam, Perti. Al Washliyah, Math’laul Anwar, GUPPI, PTDI, DMI dan Al Ittihadiyyah, 4 orang ulama dari Dinas Rohani Islam, Angkatan Darat, Angkatan Udara, Angkatan Laut dan POLRI serta 13 orang tokoh/cendekiawan yang bersifat perorangan. Dari pertemuan tersebut, menghasilkan sebuah kesepakatan untuk membentuk wadah tempat bermusyawarahnya para ulama, zuama dan cendekiawan muslim, yang tertuang dalam sebuah “Piagam Berdirinya MUI” yang ditandatangani oleh seluruh peserta musyawarah yang kemudian disebut Musyawarah Nasional Ulama I (dikutip dari mui.or.id pada 11 Juli 2023).

Mengacu pada Pasal 5 AD/ART MUI, pendirian MUI bertujuan untuk terwujudnya masyarakat yang berkualitas (khaira ummah) dan negara yang aman, damai, adil, dan makmur rohaniah dan jasmaniah yang diridhai Allah SWT (baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur). Untuk mencapai tujuan tersebut, MUI dapat melakukan usaha-usaha sebagaimana ditentukan dalam Pasal 6 AD/ART MUI, sebagai berikut. Pertama, memberikan bimbingan dan tuntunan kepada ummat Islam agar tercipta kondisi kehidupan bergama yang bisa menjadi landasan yang kuat dan bisa mendorong terwujudnya masyarakat yang berkualitas (khaira ummah). Kedua, merumuskan kebijakan penyelenggaraan dakwah Islam, amar ma’ruf nahi munkar untuk memacu terwujudnya kehidupan beragama dan bermasyarakat yang diridloi oleh Allah SWT.

Ketiga, memberikan peringatan, nasehat dan fatwa mengenai masalah keagamaan dan kemasyarakatan kepada masyarakat dan pemerintah dengan bijak (hikmah) dan menyejukkan. Keempat, merumuskan pola hubungan keummatan yang memungkinkan terwujudnya ukhuwah Islamiyah dan kerukunan antar umat beragama dalam memantapkan persatuan dan kesatuan bangsa. Kelima, menjadi penghubung antara ulama dan umara (pemerintah) dan penterjemah timbal balik antara pemerintah dan umat guna mencapai masyarakat berkualitas (khaira ummah) yang diridhai Allah SWT (baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur). Keenam, meningkatkan hubungan serta kerjasama antara organisasi, lembaga Islam dan cendekiawan muslim, serta menciptakan program-program bersama untuk kepentingan umat. Ketujuh, usaha/kegiatan lain yang sesuai dengan tujuan organisasi.

Mengacu pada basis histrois, tujuan, dan fungsi MUI sebagaimana ditentukan dalam AD/ART, MUI dalam lanskap ketatanegaaan bukanlah representasi dari kekuasaan negara (bukan lembaga negara) melainkan mitra negara sebagai organisasi kemasyarakatan sekaligus infrastruktur politik yang memiliki tujuan dan kepentingan yang sifatnya khusus (pemberdayaan umat Islam) dan memiliki implikasi dan pengaruh strategis bagi kemajuan dan persatuan bangsa. Dalam konteks ketahanan nasional, MUI memiliki peran-peran strategis yang dapat dimobilisasi untuk mengatasi problematika-problematika laten bangsa, yang muaranya adalah untuk memperkuat ketahanan nasional. Selama ini, MUI terlihat masih belum optimal dalam memobiliasasi potensi dan posisi strategisnya dalam wacana dinamika sosial-politik nasional.

Problematika Aktual Ketahanan Nasional

Ketahanan nasional merupakan kondisi kondusif dan ideal sebuah negara yang ditandai oleh pemenuhan dua aspek secara integral, yakni stabilitas sosial dan kesejahteraan sosial. Ketahanan nasional sendiri merupakan modal sosio-politis untuk mewujudkan cita-cita dan tujuan nasional. Dalam dinamika aktual, problema laten bangsa Indonesia secara realitas berkutat pada problematika stabilitas sosial dan kesejahteraan sosial. Menurut Penulis, terdapat 3 problematika pokok yang berbahaya bagi ketahanan nasional bangsa yang berafiliasi dengan masalah stabilitas sosial dan kesejahteraan sosial.

Pertama, segregasi sosial. Dewasa ini, segregasi sosial dalam masyarakat memiliki ekskalasi yang semakin hangat, khususnya menjelang pemilu 2024. Di media sosial, caci maki dan ujaran kebencian antar anak bangsa sangat mudah kita jumpai. Menurut data Kominfo, sejak tahun 2018 hingga tahun 2021, terdapat 3.640 ujaran kebencian berbasis SARA pada platform media sosial. Di sisi lain, menurut data Komnas HAM, sepanjang tahun 2008-2018 terdapat 2.453 kasus pelanggaran HAM atas hak kebebasan beragama dan berkeyakinan di Indonesia, dimana 1.033 kasus diantaranya dilakukan oleh negara dan sisanya dilakukan oleh aktor non-negara. Selanjutnya, menurut data SETARA Institue, sepanjang tahun 2022, terjadi 175 peristiwa pelanggaran kebebasan beragama dan berkeyakinan yang tersebar dengan 333 tindakan. Fenomena segregasi sosial ini tentunya menjadi sebuah ironi. Berikut data pelanggaran kebebasan beragama dan berkeyakinan di Indonesia dalam 3 tahun terakhir menurut data SETARA Institute.
Tahun Jumlah
2022 175 kasus dan 333 tindakan
2021 171 kasus dan 318 tindakan
2020 180 kasus dan 422 tindakan

Tidak dapat dipungkiri, efek derivatif dari Pilkada DKI 2017 dan Pemilu 2019 masih memiliki implikasi kuat terhadap terjadinya pembelahan kelompok dan faksi-faksi dalam masyarakat yang sifatnya segregatif secara sosio-politis. Politisasi agama, intoleransi, pengerahan buzzer politik di media sosial, dan politik identitas masih menjadi causa proxima dari terciptanya segregasi sosial dalam masyarakat saat ini. Segregasi sosial dengan basis SARA tentu merupakan ancaman serius bagi ketahanan nasional kita.

Kedua, ketimpangan sosial. Ketimpangan sosial merupakan ekses dari pada kondisi ketimpangan ekonomi yang menyebabkan terjadinya ketimpangan akses sosial (hukum, pendidikan, teknologi dll). Ketimpangan ekonomi sendiri merupakan kondisi yang dapat memberikan ancaman serius terhadap ketahanan nasional. Menurut data BPS pada Maret 2022 indeks gini ratio (indeks ketimpangan pendapatan) mencapai 0,384, sehingga masih menempatkan Indonesia masih dalam kategori negara dengan ketimpangan ekonomi yang tinggi. Mengacu pada data Credit Suisse, proporsi aset empat orang terkaya di Indonesia sama dengan kekayaan 100 juta penduduk Indonesia atau 1 persen orang terkaya Indonesia menguasai 46,6 persen total kekayaan nasional.

Ketiga, kerusakan lingkungan. Menurut data IPBES pada tahun 2018 menyebutkan bahwa setiap tahunnya Indonesia kehilangan hutan seluas 680 ribu hektar untuk kebutuhan industri ekstraktif. Industri ekstraktif yang mengakibatkan deforestasi akan berimplikasi pada menurunnya fungsi penyerapan karbon dioksida yang berimbas pada terjadinya ekskalasi pemanasan global. Menurut data dari WALHI tahun 2021, lahan seluas 159 juta hektar telah terkapling dalam izin industri ekstraktif. Penggundulan hutan di Indonesia menyebabkan ekskalasi terjadinya berbagai bencana alam seperti banjir, longsor, puting beliung, dan kebakaran hutan. Menurut data BNPB sepanjang 2020, terdapat 2.925 kasus bencana alam, paling banyak dalam kurun waktu 25 tahun terakhir. Bencana alam sendiri merupakan ancaman serius bagi ketahanan nasional.

Posisi Strategis MUI

Pertama, daya tawar politik. MUI merupakan ormas kemasyarakatan yang menjadi “rumah besar” bagi beragam ormas Islam di Indonesia yang secara kalkulatif memiliki 88 persen penduduk beragama Islam. Oleh sebab itu, sebagai infrastruktur politik, MUI tentunya memiliki daya tawar politik yang kuat dan diperhitungkan untuk dapat mempengaruhi pengambil kebijakan publik dalam membuat kebijakan publik yang pro terhadap stabilitas sosial dan kesejahteraan sosial.

Kedua, teori paternalistik. Teori paternalistik merupakan teori yang menjelaskan bagaimana patron (sosok berpengaruh) memiliki pengaruh yang besar untuk mempengaruhi cara berpikir, cara bertindak, dan cara berperilaku dari massa/pengikut. Dalam konteks sosio-kultural, ulama dan kiai merupakan patron yang memiliki pengaruh kuat dalam mempengaruhi dinamika sosial. Oleh sebab itu, MUI sebagai representasi kuorum ulama Indonesia tentu memiliki posisi strategis dan memiliki pengaruh kuat untuk melakukan mobilisasi massa untuk hal-hal yang produktif dan konstruktif bagi perwujudan stabilitas sosial dan kesejahteraan sosial.

Langkah Praksis MUI bagi Ketahanan Nasional

Pertama, mengatasi segregasi sosial. MUI sebagai reprsentasi persatuan ulama Indonesia harus mampu merepresentasikan diri sebagai main actor dalam upaya-upaya strategis untuk mengatasi segregasi sosial agar tidak semakin meluas dan mengancam ketahanan nasional. MUI harus mampu merumuskan pola hubungan keummatan yang memungkinkan terwujudnya ukhuwah Islamiyah dan kerukunan antar umat beragama dalam memantapkan persatuan dan kesatuan bangsa.

Langkah praksisnya, MUI harus menyebarkan dakwah wasathiyah secara masif, membangun komunikasi persuasif terhadap internal ormas Islam maupun ormas agama lainnya, termasuk mendorong pemerintah untuk membuat kebijakan yang pro terhadap egaliterisme.

Secara teknis, MUI kiranya perlu membangun dan mempelopori terselenggaranya kongres umat beragama Indonesia secara kontinu yang diikuti oleh seluruh ormas agama maupun aliran kepercayaan di Indonesia guna merumuskan dan mengkonsolidasikan visi besar bagaimana peran agama dan masyarakat dalam menjaga persatuan, memelihara sinergitas, dan melawan sikap-sikap intoleransi demi stabilitas sosial. Selain itu, MUI juga harus gencar melakukan gerakan sosial dan kampanye secara nasional untuk menciptakan pemilu damai. Gerakan dan kampanye ini penting untuk menegaskan posisi MUI dalam posisi non-partisan dalam wacana politik praktis.

Kedua, mengatasi ketimpangan sosial. Dalam hal ini, MUI memiliki peran strategis untuk memajukan ekonomi syariah. Lahan-lahan strategis yang dapat digarap MUI diantaranya perbankan syariah dan wakaf. Khususnya dalam wakaf, MUI harus lebih gencar untuk mensosialisasikan gerakan wakaf uang untuk pemulihan ekonomi. Wakaf uang terlihat belum optimal digarap oleh MUI selama ini.

Menurut data Badan Wakaf Indonesia, perolehan wakaf uang hingga Maret 2022 sebesar 1,4 triliun rupiah, angka yang sebenarnya jauh belum optimal. Oleh sebab itu, kedepan MUI dapat membangun komunikasi dan konsolidasi yang lebih intens dengan pemerintah baik pusat hingga desa, kampus, hingga pihak swasta untuk mengembangkan dan mempromosikan wakaf uang secara luas yang tujuannya agar semakin banyak masyarakat yang melakukan wakaf uang yang selanjutnya dapat dimobilisasi guna pemulihan ekonomi sekaligus mengatasi ketimpangan sosial. Selain itu, MUI harus terus mendukung dan memfasilitasi UMKM syariah go digital, agar memperluas pasar UMKM syariah yang goalnya adalah demi terwujudnya pemerataan kesejahteraan.

Ketiga, mengatasi kerusakan lingkungan. Kerusakan lingkungan memiliki dampak negatif yang fundamental bagi ketahanan nasional dan kelangsungan hidup manusia. Oleh sebab itu, MUI memiliki tanggungjawab besar untuk mencegah kerusakan lingkungan dan menjaga kelestarian lingkungan hidup. MUI harus mengambil inisiatif untuk mengajak ormas-ormas Islam untuk menggencarkan “dakwah hijau” yakni dakwah islami yang berkaitan dengan kewajiban manusia untuk menjaga alam dan lingkungannya. Selama ini “dakwa hijau” belum menjadi dakwah mainstream didunia dakwah Islam. Selain itu, MUI harus menyuarakan gerakan nasional reboisasi dan penanaman pohon sebanyak mungkin untuk memperbaiki lingkungan yang telah rusak.

Akhir sekali, MUI dengan peran dan posisinya yang strategis harus mampu mengkanalisasi problematika ketahanan nasional meliputi segregasi sosial, ketimpangan sosial, dan kerusakan lingkungan hidup dengan melakukan peran-peran transformatif, sehingga MUI mampu merepresentasikan ghiroh Islam sebagai rahmatan lil alamin. Rahmat bagi alam semesta. (*)