Oleh: Pradikta Andi Alvat
PNS Analis Perkara Peradilan (Proyeksi Calon Hakim) PN Rembang

Dalam konteks aliran filsafat hukum, mazhab hukum alam merupakan aliran filsafat hukum tertua. Secara prinsipil, hukum alam merefleksikan adanya nilai-nilai dan normakehidupan yang sifatnya universal dan abadi sebagai pedoman tertib sosial. Hukum alam pada tataran teoritik dibedakan menjadi dua gagasan. Pertama, hukum alam irasional. Kedua, hukum alam rasional.

Gagasan hukum irasional berpendapat bahwa norma kehidupan yang sifatnya universal dan abadi itu bersumber langsung dari Tuhan. Menurut Occam, hukum selalu identik dengan kehendak mutlak (otoritas) dari Tuhan sebagai penguasa alam semesta. Tokoh pendukung gagasan hukum irasional diantaranya: Piere Dubois, Daante, hingga Thomas Aquinas.

Sebaliknya, gagasan hukum alam rasional berpendapat bahwa norma kehidupan yang sifatnya universal dan abadi itu bersumber dari rasio manusia. Manusia secara lahiriah memiliki akal budi yang secara mandiri mampu untuk menciptakan norma kesusilaan bagi diri dan lingkungan sosialnya. Tokoh pendukung gagasan hukum rasional diantaranya: Grotius dan Immanuel Kant.

Meski secara praktis-normatif, aliran hukum alam telah jauh ditinggalkan, akan tetapi viabilitasnya pada hakikatnya memiliki survival yang universal dan abadi. Ambil contoh, misalnya kredo hukum alam tentang kekuasaan tiada yang abadi dan kesombongan besar akan runtuh selalu memiliki kontekstualisasinya dalam realitas kehidupan manusia.

Kekuasaan yang kuat dan rasa sombong yang besar dari Raja Fir’aun pada akhirnya karam juga. Kekuasaan otoritarianisme dari Sadam Husein di Iraq dan Soeharto di Indonesia yang bercokol berpuluh-puluh tahun, runtuh juga akhirnya. Terbaru, dapat kita lihat bagaimana arogansi kekuasaan dari seorang Ferdy Sambo dan Rafael Alun Trisambodo pun gulung tikar juga akhirnya.

Dari fenomena tersebut dapat diambil saripati pembelajaran bahwa ketika manusia sombong karena memiliki ‘power’ baik itu berupa kekuasaan maupun kekayaan, manusia itu pada dasarnya lupa bahwasanya di atas mereka masih banyak manusia yang jauh lebih memiliki ‘power’, dan yang paling manusia itu lupa bahwa diatas semuanya ada yang maha super power, yang bisa merubah dan meruntuhkan segalanya dalam sekejap waktu.

Domitius AnniusUlpianus seorang ahli hukum asal Romawi pada abad ke-2 telah mengkonstruksikan tiga kredo utama dalam hukum alam (abstrak-fundamental), dimana barangsiapa manusia tidak mentaati kredo hukum alam tersebut, niscaya akan mendapatkan ‘sanksi alam’. Ketiga kredo hukum alam tersebut adalah honeste vivere (hidup dengan kehormatan), alterum non laedere (jangan merugikan sesama manusia), dan suum cuique tribuere (berikanlah manusia hak-haknya).Ketiga kredo hukum alam ini merupakan moralitas hidup yang universal dan abadi.
Pertama, honeste vivere. Hidup dengan kehormatan memiliki makna bahwa kehormatan merupakan hasil integrasi antara akal, budi, dan perilaku yang direfleksikan dengan menjunjung tinggi kesusilaan dan humanisme. Secara contrario, dapat disimpulkan bahwa tidak ada perbuatan yang terhormat jika perbuatan tersebut bertentangan dengan kesusilaan dan humanisme. Oleh sebab itu, manusia selalu dituntut untuk menghidupkan rasa dan karsa dalam jiwanya.

Kedua, alterum non laedere. Merupakan representasi dari penghormatan terhadap hak-hak orang lain yang disepakati secara publik (Sidharta, 2014). Konsep ini menjunjung nilai sosio-egaliterisme, dimana manusia tidak boleh menjadi sebab bagi kerugian dan penderitaan kehidupan orang lain baik secara langsung maupun tidak langsung.

Ketiga, suum cuique tribuere. Merupakan representasi dari penghormatan terhadap hak-hak orang lain yang bersifat privat (Sidharta, 2014). Konsep ini menjunjung tinggi konsep humanisme. Yang intinya bagaimana hak-hak sebagai manusia harus diberikan sebagaimana mestinya. Dalam relasi sosial, manusia harus mendapat apa yang menjadi haknya. (*)