JAKARTA | Populinews.com – Mungkin kita sering menjumpai teman-teman kita, yang sewaktu sekolah mempunyai nilai raport yang biasa-biasa saja. Bukan ranking kelas, karena nilainya nyaris 6 bulat sebagai angka kenaikan.

Dia bukan sosok siswa dan mahasiswa layaknya bintang yang kerap menerima berbagai penghargaan. Ya, siswa biasa, tetapi dia banyak berkawan, sering peduli pada keterbatasan teman, empati dan simpatik dalam lingkungan sosial.

Selang beberapa tahun kemudian, setelah selesai pendidikan, dia menjadi orang yang sukses. Memiliki karir yang bagus, rezeki yang lancar dan keluarga yang bahagia. Di mana-mana dikerubuti para kolega karena tampil menyenangkan.

Fenomena itu yang oleh Damiel Goleman disebut sebagai orang yang memiliki kecerdasan emosional tinggi. Bagi Goleman kecerdasan emosional (emotional quotion) akan mendukung 80% seseorang. Sementara 20% ditentukan oleh kecerdasan intelektual (intelectual quotion).

Cerdas emosional (EQ) dimaknai sebagai kemampuan seseorang untuk mengaktualkan diri pada keterampilan sosial, simpatik, empatik dan segala hal yang berdimensi membantu orang lain.

Sementara lembaga pendidikan kita, sekolah, madrasah dan PT baru berhasil mendidik para siswa dan mahasiswanya cerdas intelektual. IPK atau nilai raport kerap menggambarkan kecerdasan intelektual.

Hal itu buah dari sistem pendidikan yang berhasil melakukan transfer of knowledge ketimbang transfer of value. Dalam bahasa lain, soal karakter, moral, dan akhlak belum mampu dipotret dan didesain dengan baik di sekolah.

Pendekatan formalistik dan dogmatik dalam pembelajaran juga ikut menyumbang kondisi tersebut. Para siswa terbelenggu, kurang kreatif dan inovatif dalam proyek-proyek sosial. Siswa dikatakan berhasil jika mereka bisa menyelesaikan sejumlah pokok bahasan dengan keterampilan membaca, menghafal, meneliti, dan menganalisa.

Sementara soal pembelajaran kritik-sosial terlalu minim. Bahkan ada sejumlah mahasiswa yang terlalu aktif mengaktualisasikan diri pada sesama dan kebetulan indeks prestasinya pas-pasan, dinilai sebagai sebuah kegagalan.

Jauh hari Bloom, telah merumuskan bahwa kompetensi peserta didik harus diukur dalam tiga dimensi atau ranah. Ranah kognitif, afektif, dan psikomotorik. Namun lagi-lagi para pendidik kerap mengukur keberhasilan pembelajarannya pada hal-hal yang serba kognitif. Sementara afektif dan psikomotor yang bisa jadi akan menajamkan kecerdasan emosional peserta didik, kurang diperhatikan.

Madrasah Ramadan

Ramadan, selain ditahbiskan sebagai bulan suci, tetapi juga sebagai bulan prestasi. Tidak hanya untuk menempa batin dan mental menjadi pribadi yang bersih, lurus juga benar, tetapi juga menjadi pribadi yang dermawan, peduli kepada yang mustadh’afin, empatik pada yang papa juga simpati atas penderitaan orang.

Tepat kiranya bulan yang dirindukan oleh para malaikat ini, kita sebut sebagai madrasah, sekolah, atau kampus. Ramadan menjadi ruang penggemblengan intelektual sekaligus emosional.

Para ulama dan kyai melalui penggaliannya atas teks Al-Qur’an dan Hadis, juga apa yang telah dipraktikkan oleh para sahabat dan orang-orang saleh, menjadi guru para jama’ah.

Dalam perspektif EQ, maka program-program santunan kepada yang miskin, kunjungan ke panti jompo dan pelbagai kegiatan sosial selama Ramadan akan melatih umat akan EQ. Ini tentu tanpa mengabaikan tadarrus Al-Qur’an, i’tikaf di masjud, dan juga ritus-ritus Ramadan lainnya.

Ukuran-ukuran keberhasilan dalam madrasah Ramadan, tidak hanya pada capaian yang ritualistik, tetapi yang berhasil adalah umat yang memiliki ketrampilan sosial buah dari kecerdasan emosional.

Bagi para pemegang kebijakan harus semakin tajam melakukan program-program pemberdayaan: memperbanyak beasiswa, mempermudah akses kaum dhu’afa mendapatkan layanan pendidikan, kesehatan dan informasi.

Negara yang dioperasikan oleh orang-orang yang menjalankan ibadah Ramadan, harus semakin peka berpihak kepada yang lemah. Spirit Ramadan mendidik umat untuk cerdas emosi.

Penegak hukum akan semakin melindungi yang fakir. Bukan tajam ke bawah dan tumpul ke atas. Para wakil rakyat harus lebih produktif mengetuk anggaran, memproduksi aturan-aturan kepada yang lemah.

Profesi apapun yang digeluti harus terinspirasi dalam Ramadan untuk menajamkan aksi-aksi sosial, dengan ilmu dan otoritas yang dimiliki agar semakin cerdas emosionalnya.

Demikian bulan Ramadan adalah madrasah untuk mengolah pendidikan emosional kita. Semoga bermanfaat.(hms)

Bagikan :