Oleh: Candrika Adhiyasa *}

Tragedi longsor di Cilengkrang, Kuningan, tak sekadar urusan tanah runtuh karena hujan. Di balik peristiwa yang viral di media sosial itu, tersembunyi skema kuasa yang membungkam nalar publik dan melanggengkan ketidakadilan ekologis.

Kawasan lereng Gunung Ciremai yang dulu dikenal sejuk, kini berubah sebaliknya, lantaran kebijakan investasi wisata yang tidak peduli dampak lingkungan, dan kabarnya, salah satu pelaku usaha di baliknya adalah salah satu anggota DPR RI.

Seperti biasa, narasi resmi pemerintah—tepatnya oleh Badan Taman Nasional Gunung Ciremai (BTNGC) menggantungkan segalanya pada “cuaca ekstrem”. Ini semacam jawaban otomatis yang sudah basi: kaset lama untuk membungkam kritik. Padahal, problem sebenarnya jauh lebih dalam—menyangkut kerusakan struktural akibat tata ruang yang abai pada daya dukung lingkungan, pencemaran air, hingga krisis air bersih yang diam-diam mencekik warga.

Apabila hendak ditarik lebih jauh, kajian lingkungan di awal pun sudah semestinya mempertimbangkan daya dukung dan daya tampung lingkungan, termasuk memperkirakan curva curah hujan tertinggi dari data tahunan untuk mempertimbangkan kemungkinan banyak air limpasan yang tak bisa ditopang oleh struktur geologis setempat. Artinya, bila tidak demikian, kajian lingkungan di awal perencanaan itu sendiri sudah bermasalah.

Kembali ke analisis ekonomi politik, dengan meminjam perspektif Foucault, longsor ini mencerminkan “rejim kebenaran” yang menyaring apa yang boleh dikatakan. Bencana dibungkus seolah musibah alam semata, padahal ia adalah buah kompromi ekonomi-politik yang melupakan prinsip keadilan ekologis.

Muncul desakan dari DPRD Kuningan, termasuk dari partai yang sama, agar dilakukan audit menyeluruh. Tapi ini pun belum tentu tulus—indikasi tarik-menarik kepentingan menjadikan langkah itu tak sepenuhnya meyakinkan. Dalam istilah Gramsci, kita menyaksikan retaknya hegemoni dalam tubuh kekuasaan, namun bukan berarti lahirnya keberpihakan baru pada rakyat.

Respons teknokratik dari Bupati Kuningan, Dr. Dian Rachmat Yanuar—yang menjanjikan tindak lanjut—tentu patut dicatat, tapi belum cukup. Publik menanti lebih dari sekadar janji. Dalam konteks ini, negara tidak bisa hanya menjadi penonton administratif, tapi harus menjadi agen keadilan. Kalau tidak, pernyataan pejabat hanya jadi “penanda kosong” yang menggantung harapan warga.

Pertanyaannya kini bukan sekadar “siapa yang salah?”, tapi “sistem seperti apa yang membiarkan lereng gunung jadi alat produksi estetika palsu demi logika pasar?”

Dalam pandangan deep ecology ala Arne Naess, alam tak seharusnya diposisikan sebagai objek kapital. Tapi kini, di tangan investor dan politisi yang saling sandera, alam jadi sekadar properti visual yang dijual ke turis—sementara warga lokal menanggung limbah dan longsor.

Tragedi ini bukan hanya mengoyak tanah, tapi juga kepercayaan publik terhadap negara. Agamben pernah menggugat negara yang gagal membedakan norma dan pengecualian—dan itulah yang kita saksikan di Cilengkrang. Dalam lumpur longsor itu, kita melihat wajah negara yang diam-diam turut merayakan kehancuran, demi proyek dan kepentingan yang tak pernah benar-benar milik rakyat.

Dalam tragedi longsor di Cilengkrang, ada satu krisis yang luput dari perhatian utama: kelangkaan air bersih. Jauh sebelum longsor terjadi, sejumlah desa di bawah kawasan Cisantana telah mengalami kesulitan air bersih. Bencana ini memperparah situasi. Longsoran di sekitar Arunika Eatery menyebabkan aliran air ke tiga desa menjadi keruh, tidak layak konsumsi.

Ironisnya, krisis ini terjadi di tengah derasnya arus wisata dan kemewahan fasilitas komersial. Air, yang semestinya menjadi hak dasar, justru dikomodifikasi demi kepentingan segelintir pihak. Warga hidup dalam keterasingan hak, sementara pengelolaan lingkungan diabaikan.

Kepala Desa Pajambon bahkan menyebut adanya pencampuran antara saluran air bersih dan limbah, serta tidak adanya sistem drainase yang layak. Hal ini mencerminkan eksternalisasi risiko ekologis yang dipaksakan ke masyarakat—gejala khas dari kapitalisme ekstraktif.

Kondisi ini menggambarkan water democracy deficit seperti dijelaskan Vandana Shiva, yakni ketika kontrol atas air berpindah ke tangan elite ekonomi dan birokrasi. Kerusakan juga menimpa Sungai Cilengkrang, yang selama ini berperan vital bagi irigasi. Kini alirannya menurun drastis, diduga akibat pengambilan air berlebih untuk kepentingan wisata.

Ketimpangan ekologis pun tampak nyata: masyarakat dirugikan, industri tetap berjalan.
Lebih dari itu, warga banyak yang memilih diam. Tekanan sosial dan ekonomi membuat mereka enggan bersuara, terlebih dengan minimnya pendampingan dari LSM, aktivis, maupun akademisi—meski beberapa ada yang bersuara (dengan beberapa catatan). Di sinilah kita menyaksikan kegagalan kolektif dalam mewujudkan “tanggung jawab antargenerasi” sebagaimana diingatkan Hans Jonas: menjaga keberlanjutan hidup, bukan hanya untuk kini, tetapi juga bagi masa depan.

Mengacu pada teori risk society Ulrich Beck, bencana ini adalah gejala dari arah pembangunan yang keliru dan abai mitigasi. Pemerintah daerah harus menegakkan hukum lingkungan secara tegas, mengevaluasi RTRW kawasan Cisantana, dan mengawasi pemenuhan baku mutu limbah. Perlu keberanian politik untuk berpihak pada warga, bukan elite.

Komunitas dan akademisi juga mesti bergerak: menyuarakan risiko, melakukan advokasi, dan membumikan konsep partisipatif seperti pentahelix. Krisis air bersih ini bukan soal teknis semata, tetapi soal keadilan ekologis dan sosial. Kita tidak bisa lagi bersembunyi di balik statistik curah hujan; sudah saatnya membicarakan kembali cara kita mengelola bumi, demokrasi, dan tanggung jawab bersama. (**)

*) Penulis : Konsultan Lingkungan. Pernah belajar di program studi Ilmu Lingkungan Universitas Gadjah Mada. Instagram @candrimen

Bagikan :