Oleh: Pradikta Andi Alvat
CPNS Analis Perkara Peradilan (Calon Hakim) Pengadilan Negeri Rembang

Mengacu pada ketentuan Pasal 183 KUHAP, dapat disimpulkan bahwa asas pembuktian hukum pidana di Indonesia adalah bersifat pembuktian negatif. Dalam arti, hakim dapat menjatuhkan vonis pemidanaan terhadap seorang terdakwa apabila terpenuhinya dua aspek secara kumulatif, yakni minimal terpenuhi dua alat bukti serta keyakinan hakim bahwa memang terdakwalah yang benar-benar bersalah melakukan suatu tindak pidana yang didakwakan kepadanya.

Apabila kedua aspek (minimal dua alat bukti dan keyakinan hakim) tidak terpenuhi secara kumulatif, maka hakim harus menjatuhkan vonis bebas terhadap seorang terdakwa. Namun apabila dakwaan jaksa terbukti (terpenuhi dua alat bukti dan keyakinan hakim) namun perbuatan yang dilakukan oleh terdakwa ternyata bukan merupakan sebuah tindak pidana (misalnya ada alasan pembenar), maka hakim harus menjatuhkan vonis lepas kepada terdakwa.

Perihal vonis pemidanaan oleh hakim, pada prinsipnya, hakim terikat pada surat dakwaan namun tidak terikat dengan surat tuntutan. Hakim tidak boleh memvonis seseorang karena melakukan suatu tindak pidana di luar dari tindak pidana yang terdapat dalam surat dakwaan yang didakwakan oleh penuntut umum. Hal ini merupakan konsekuensi dari prinsip diferensiasi fungsional dalam kerangka sistem peradilan pidana.

Namun perihal surat tuntutan (harapan vonis) yang diharapkan oleh penuntut umum untuk dijatuhkan terhadap terdakwa, hakim tidak terikat pada tuntutan penuntut umum. Hakim boleh memutus vonis berapapun sepanjang tidak melebihi ancaman maksimal yang tertuang dalam ketentuan pasal yang didakwakan oleh penuntut umum. Dalam hal ini mengejawantah prinsip independensi dan kemerdekaan hakim.

Kemudian, terkait seberapa berat atau ringan suatu vonis pemidanaan seorang hakim kepada terdakwa pada prinsipnya terdiri atas dua alasan. Pertama, alasan hukum atau alasan obyektif. Menurut KUHP, alasan hukum atau obyektif yang dapat memperberat suatu vonis hakim, antara lain: recedive (pengulangan tindak pidana), concurcus (perbarengan tindak pidana), kedudukan sebagai pejabat yang menyalahgunakan kekuasaannya, dan melakukan tindak pidana dimana digunakan bendera merah putih.

Namun perlu diingat, bahwa alasan-alasan pemberatan vonis pidana tersebut tidak bersifat imperatif (harus dilaksanakan) melainkan sebuah pilihan bagi seorang hakim untuk menerapkan maupun tidak menerapkannya. Oleh sebab itu, dalam rumusan pasal terkait alasan-alasan pemberat tersebut terdapat kata ‘dapat’, yang maknanya adalah sebuah pilihan.

Contoh Pasal 52 KUHP: “Bilamana seorang pejabat karena melakukan perbuatan pidana melanggar suatu kewajiban khusus dari jabatannya atau pada waktu melakukan perbuatan pidana memakai keuasaan, kesempatan, atau sarana yang diberikan kepadanya karena jabatannya, pidananya dapat ditambah sepertiga”.

Di sisi lain, terdapat alasan hukum atau obyektif yang dapat memperingan suatu vonis yang dijatuhkan oleh hakim, diantaranya: tindak pidana percobaan, pembantuan tindak pidana, serta tindak pidana yang dilakukan oleh anak. Dalam hal ini, ketentuan hukumnya bersifat imperatif (kewajiban) bukan sebuah pilihan. Artinya, hakim wajib meringankan vonis pemidanaan pada seseorang yang masuk dalam salah satu dari ketiga kategori alasan yang meringankan tersebut.

Contoh Pasal 53 ayat (2) KUHP: “Maksimum pidana pokok terhadap kejahatan, dalam hal percobaan dikurangi sepertiga”. Kemudian Pasal 53 ayat (3) KUHP: “jika kejahatan diancam dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup, dijatuhkan pidana penjara paling lama lima belas tahun”.

Kedua, alasan kondisionil atau subyektif. Merupakan kondisi yang bersifat faktual-situasional yang menurut subyektifitas hakim dapat dijadikan sebagai dasar atau alasan yang memperberat maupun memperingan suatu vonis pemidanaan. Dalam hal ini, hakim melihat pada aspek personal dari terdakwa hingga alasan terdakwa dalam melakukan suatu tindak pidana.

Alasan yang meringankan biasanya adalah terdakwa bersifat kooperatif, mengakui kesalahannya, baru pertama kali melakukan tindak pidana, dan terdakwa merupakan tulang punggung keluarga. Sedangkan alasan yang memberatkan vonis pemidanaan biasanya adalah terdakwa tidak kooperatif, bersifat kekejian dan kekejaman, terdakwa tidak mengakui kesalahannya, dan lainnya. Secara formal, alasan (keadaan) yang memperberat dan meringankan terkait vonis yang dijatuhkan oleh hakim harus dimuat dalam struktur putusan, sebagaimana ketentuan Pasal 197 huruf f KUHAP. (*)