Oleh: Pradikta Andi Alvat
CPNS Analis Perkara Peradilan (Calon Hakim) Pengadilan Negeri Rembang

Dalam sistem peradilan pidana dikenal adanya mekanisme upaya hukum. Menurut Pasal 1 angka 12 KUHAP, upaya hukum didefinisikan sebagai hak dari terdakwa atau penuntut umum untuk tidak menerima putusan pengadilan, yang dapat berupa perlawanan atau banding atau kasasi atau hak terpidana untuk mengajukan permohonan peninjauan kembali dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam KUHAP.

Secara substantif, upaya hukum dalam peradilan pidana dibedakan menjadi dua, yakni upaya hukum biasa dan upaya hukum luar biasa. Upaya hukum biasa adalah upaya hukum terhadap putusan pengadilan yang belum berkekuatan tetap, misalnya upaya hukum perlawanan, banding, atau kasasi.

Sedangkan upaya hukum luar biasa adalah upaya hukum yang yang dapat dilakukan terhadap putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap. Putusan hukum yang berkekuatan hukum tetap disini adalah putusan kasasi serta putusan pengadilan banding dan putusan pengadilan tingkat pertama yang telah diterima oleh terdakwa.
Artinya, putusan yang berkekuatan hukum tetap adalah putusan yang memiliki kekuatan eksekutorial.
Upaya hukum luas biasa dalam peradilan pidana sendiri dibedakan menjadi dua. Yakni Peninjauan Kembali (PK) dan kasasi demi kepentingan hukum. Peninjauan Kembali dapat diajukan oleh terpidana, ahli waris, atau kuasa hukumnya kepada Mahkamah Agung melalui pengadilan tingkat pertama berdasarkan syarat formil dan materil tertentu.

Sedangkan kasasi demi kepentingan hukum, menurut Pasal 259 ayat (1) KUHAP dilakukan demi kepentingan hukum terhadap semua putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dari pengadilan lain selain daripada Mahkamah Agung, dapat diajukan satu kali permohonan kasasi oleh Jaksa Agung. Pasal 259 ayat (2) KUHAP menegaskan putusan kasasi demi kepentingan hukum tidak boleh merugikan pihak yang berkepentingan.

Menurut Prof. Eddy O.S. Hiariej, jika menilik pada sejarah pembentukan KUHAP, upaya kasasi demi kepentingan hukum sejatinya merupakan instrumen untuk menyeimbangkan upaya peninjauan kembali. Jika upaya hukum peninjauan kembali dapat diajukan oleh tepidana atau ahi warisnya, maka upaya hukum kasasi demi kepentingan hukum dapat diajukan oleh Jaksa Agung sebagai manifestasi pimpinan tertinggi dari jaksa penuntut umum (dikutip dari Junal Hukum Universitas Atma Jaya Yogyakarta tahun 2017 yang ditulis oleh Monica Sara Konardi).

Kemudian, mengacu pada buku Kompilasi Petunjuk Teknis Terkait Penanganan Perkara Tindak Pidana Umum (Buku I s/d Buku VII) bahwa alasan dan kondisi yang digunakan oleh Jaksa Agung sebagai basis mengajukan kasasi demi kepentingan hukum sama halnya pada alasan pengajuan kasasi dalam upaya hukum biasa, yakni: apakah benar suatu peraturan hukum tidak diterapkan atau diterapkan tidak sebagaimana mestinya, apakah benar cara mengadili tidak dilaksanakan menurut ketentuan undang-undang, apakah benar pengadilan telah melampaui batas wewenangnya.

Eksistensi Kasasi Demi Kepentingan Hukum

Secara konseptual-fungsional, menurut hemat penulis terdapat 3 problematika laten terkait upaya hukum kasasi demi kepentingan hukum itu sendiri. Pertama, terkait makna atau tafsir dari frasa “tidak boleh merugikan pihak yang berkepentingan” yang tidak dijelaskan dalam KUHAP. Apa yang dimaksud tidak boleh merugikan? Lalu siapakah yang dimaksud pihak yang berkepentingan disini? Apakah terpidana, penuntut umum, atau keduanya.

Kedua, jarang digunakan. Dari KUHAP lahir pada tahun 1981 hingga sekarang, upaya hukum kasasi demi kepentingan hukum hanya pernah sekali digunakan (sejauh penelusuran penulis) yakni dalam perkara Nomor 1828 K/Pid/1989 tahun 1989, terkait putusan atas praperadilan terhadap masalah penyitaan.

Ketiga, tidak berdampak hukum. Mengacu pada putusan pengadilan atas upaya hukum kasasi demi kepentingan hukum dalam perkara Nomor 1828 K/Pid/1989 di atas, dimana dalam putusan tersebut, MA menyatakan dalam putusannya bahwa putusan ini tidak berdampak hukum atau sekadar meluruskan penerapan hukum semata.

Dengan realitas tersebut, maka upaya hukum kasasi demi kepentingan hukum ini ibarat macan tak bertaring. Ada, namun tidak memiliki kekuatan dan daya eksistensi. Hal ini dikarenakan putusan atas upaya kasasi demi kepentingan hukum tidak memiliki dampak hukum dan tidak boleh merugikan pihak yang berkepentingan, yang dapat dimaknai tidak boleh merubah isi putusan dan menunda pelaksanaan putusan (hanya sekadar menjelaskan mana yang benar dan tidak menurut hukum).

Oleh sebab itu, sebagai upaya hukum luar biasa, seharusnya upaya hukum kasasi demi kepentingan hukum kedepannya (ius constituendum) dikonstruksikan sebagai instrumen fungsional untuk mendapatkan keadilan serta kebenaran materil sebagaimana hakikat dari penegakan hukum pidana. Jika tidak demikian, maka lebih baik, upaya hukum kasasi demi kepentingan hukum ditiadakan saja. (*)