PTBA Pionir Hilirisasi yang Pantang Menyerah, Dari EBT, Co-Firing Hingga Menuju NZE
POPULINEWS.COM | Bicara hilirisasi, ketahanan energi nasional, serta kepedulian terhadap lingkungan dan ekonomi masyarakat sekitar, PT Bukit Asam (PTBA) tbk, adalah pionernya sejak lama. Namun kini, ada tantangan baru dan menjadi PR besar, yaitu melakukan hilirisasi batubara, bertransformasi menyediakan Eenergi Baru Terbarukan (EBT) serta mendukung penuh program Net Zero Emission (NZE) terkait isu global warming (pemanasan global).
================
Hilirisasi dan menuju energi bersih (green energy) sebenarnya bukanlah pekerjaan baru bagi PT Bukit Asam (PTBA) Tbk. Sejak 31 tahun silam, persisnya di tahun 1993, BUMN penghasil batubara terbesar di Asia Tenggara ini, sudah melakukannya. Apa buktinya? Briket adalah jawabannya.
Briket, adalah sejenis ‘arang’ dari pasir batubara yang dipadatkan lalu dicetak berbentuk bulat lonjong. Ia dijadikan bahan bakar padat, sebagai bahan bakar alternatif pengganti minyak tanah. Briket di masa itu, digunakan untuk memasak makanan, pengeringan (hot storege), pembakaran tungku dan pemanas di kandang hewan peliharaan, seperti ternak ayam, kambing dan sapi.
Briket mudah digunakan namun tidak cepat habis. Satu liter minyak tanah bisa habis dalam waktu 30 menit, tapi satu kilo briket bisa dipakai memasak selama tiga jam tanpa henti. Briket jauh lebih hemat dibanding bahan bakar minyak tanya.
Karena kegunaannya banyak dan murah, briket sempat dikembangkan secara massal dengan memperhatikan spesifikasi khusus, antara lain harus mudah dibakar, apinya berwarna biru, tidak berasap, dan yang paling dijaga adalah: tidak berbau. Briket saat itu sempat booming, karena banyak digunakan pemilik restoran dan warung-warung makanan di pelosok tanah air.
Produksi Briket, telah membuka peluang usaha baru bagi ribuan masyarakat di Indonesia, baik sebagai produsen UMKM, Agency maupun penjual langsung. Namun sayangnya, booming Briket hanya berlangsung sekitar 10 tahun. Setelah itu, ia perlahan tergerus karena kebijakan pemerintah, menggantikan pengunaan minyak tanah menjadi gas LPG (Liquefied Petroleum Gas) bersubsidi, berupa tabung 3 kilogram dan 8 kilogram. LPG merupakan salah satu produk petrokimia dari Pertamina, yang berasal dari minyak bumi yang telah difraksionasi.
Kebijakan ini sekaligus ‘memukul mundur’ pasar Briket PTBA yang sudah berkembang di masyarakat saat itu. Hingga akhirnya, sekarang PTBA pun kini terpaksa mengurangi produksinya. Dengan kapasitas terpasang mampu memproduksi 10.000 ton briket batubara per tahun, kini volume produksi Briket Tanjung Enim ini disetel pada kisaran 20% saja bahkan kurang dari itu. Itu pun hanya untuk memenuhi kebutuhan reseller baik online maupun agen-agen yang masih beroperasi.
Briket batubara juga kalah bersaing, karena pemakaiannya dianggap kurang praktis jika dibandingkan gas LPG. Memang, untuk menyalakan briket, dibutuhkan waktu tak kurang dari 15 menit mulai dari pembakaran sampai betul-betul menjadi api. Sedangkan gas LPG, dalam sekali ceklek regulatornya, api sudah menyala. Hanya butuh 2 sampai 5 detik saja.
Dari LPG Berganti DME
Begitu pentingnya pemenuhan LPG kebutuhan masyarakat, ternyata belakangan diketahui menyimpan persoalan besar. Pengadaan LPG, yang kian hari kian meningkat, rupanya menjadi beban APBN yang cukup berat. Beban subsidi menjadi terus membengkak, seiring kenaikan harga bahan baku LPG impor setiap tahun. Kemudian, harga jual LPG itu sendiri, tidak mudah dinaikkan sejak pertama kali diproduksi karena minimnya kemampuan daya beli masyarakat.
Kemudian kondisi ini diperburuk lagi oleh ketidak-mampuan industri hulu Migas dalam negeri untuk memenuhi lifting gas supaya diolah di kilang LPG yang ada saat ini. Hal inilah yang memaksa pemerintah melakukan impor dari negara penghasil gas cair ini dari beberapa negara, seperti Arab, Austrlia bahkan negara tetangga Singapura. Setiap tahun butuh anggaran sebesar 120 triliun rupiah untuk membeli LPG cair dari negara luar tersebut.
Adalah Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia, beberapa hari setelah dilantik, langsung terkejut ketika mengetahui LPG yang beredar di dalam negeri sebagian besar berasal dari impor. Kebutuhan LPG subsidi nasional saat ini mencapai 7 juta ton per tahun. Namun untuk kebutuhan tersebut, produksi dalam negeri hanya mampu di level 1,8 juta ton per tahun.
Minyak mentah, ternyata jauh lebih parah. Kampuan produksi dari hulu migas hanya 600 ribu BOPD (Bilion Oil Per Day), sementara kebutuhan 1,6 Juta BOPD. “Kenapa negara ini begini terus? Apa gak bisa kita bangun industri itu, atau sengaja dibiarkan untuk importir main terus,” ungkap Bahlil, dengan nada kecewa ketika Rapat Kerja bersama Komisi VII DPR RI, akhir Agustus 2024 lalu.
Wajar saja jika belakangan ini, Menteri ESDM terus mendesak produsen energi Migas, termasuk juga energi menineral batubara, untuk melakukan terobosan dan memberikan solusi bagaimana mengurangi beban ABPN yang cukup besar tersebut. Hampir dalam setiap momen, Bahlil membicarakan fenomena ini, termasuk ketika melantik Kepala Satuan Kerja Khusus Pelaksanaan Usaha Hulu Migas (SKK Migas) yang baru, Djoko Siswanto menggantikan Dwi Soetjipto yang sudah menjabat sejak tahun 2018.
Terkait upaya penghematan devisa negara ini, lagi-lagi PTBA sebenarnya sudah melangkah dan melakukan inovasi lebih dahulu. PTBA sejak tujuh tahun lalu (tahun 2017) telah marancang hilirisasi batubara menjadi Dimetil Ether (DME), sejenis gas cair yang berfungsi sama seperti LPG serta Synthetic Natural Gas (SNG) sebagai bahan baku plastik. Tentu saja program gasifikasi ini menggunakan teknologi tinggi dan membangun pabrikan yang biayanya tidak kecil.
PTBA melakukan pencanangan industri hilirisasi batubara ini di Bukit Asam Coal Based Special Economic Zone (BACBSEZ), Tanjung Enim. Pencanangan pabrik hilirisasi batubara ini merupakan kelanjutan dari Head of Agreement Hilirisasi Batubara yang telah ditandatangani oleh PTBA, Pertamina, Pupuk Indonesia, dan Chandra Asri Petrochemicals pada 8 Desember 2017 lalu di Jakarta.
Melalui teknologi gasifikasi, batubara kalori rendah akan diubah menjadi produk akhir yang bernilai tinggi, yakni menjadi Syngas untuk kemudian diproses menjadi Dimethyl Ether (DME) sebagai substitusi LPG, Urea sebagai pupuk, dan Polypropylene sebagai bahan baku plastik.
Tak tanggung-tanggung, untuk kelancaran proyek ini, PTBA berencana membangun empat komplek pabrik. Masing-masing adalah komplek pabrik Coal to Syngas, komplek pabrik Syngas to Urea, komplek pabrik Syngas to DME, dan komplek pabrik Syngas to Polypropylene. Semuanya dalam kawasan Bukit Asam Coal Based Special Economic Zone (BACBSEZ).
Pabrik gasifikasi batubara ini direncanakan mulai beroperasi pada November 2022 lalu, dan diharapkan akan mampu memenuhi kebutuhan pasar sebesar 500 ribu ton Urea per tahun, 400 ribu ton DME per tahun, dan 450 ribu ton Polypropylene per tahun.
Dengan target kebutuhan tersebut, diperkirakan kebutuhan batubara sebagai bahan baku 5,2
juta ton per tahun, dan untuk kebutuhan listrik 1 juta ton sehingga total batubara sebesar 6,2 juta ton per tahun dialokasikan untuk proyek ini. Namun, sayangnya proyek ini tidak bisa direalisasikan karena beberapa faktor siginifikan.
Kerjasama Mitra Asing
Gagal membangun industri hilirisasi dengan BUMN dan Swasta Dalam Negeri, langkah berikutnya PTBA menggandeng PT Pertamina (Persero) menjalin kerjasama pengembangan produk batubara dengan Air Products and Chemicals Inc (APCI), perusahaan berbasis di Amerika Serikat yang pada tahun 2018 mengakuisisi paten/teknologi gasifikasi batubara Shell.
Dua BUMN energi sumber daya menineral kebanggaan Indonesia ini bersama APCI menandatangani memori kerjasama untuk gasifikasi batubara menjadi Dimethyl Ether (DME) dan Synthetic Natural Gas (SNG), di Allentown, Amerika Serikat pada bulan November 2018.
Penandatanganan ini dilakukan oleh Direktur Utama PTBA (semasa Arviyan Arifin) dan Direktur Utama Pertamina (semasa Nicke Widyawati), serta Chairman, President & CEO Air Products, Seifi Ghasemi. Ikut menyaksikan, Menteri BUMN Republik Indonesia (semasa Rini Soemarno). Rencana usaha gasifikasi batubara yang ditandatangani di Allentown ini berlokasi di Mulut Tambang Batubara Peranap, Riau.
Adapun Investasi proyek ini sebesar US$2,1 miliar atau setara dengan Rp30 triliun, untuk membangun pabrik dan kebutuhan teknis lainnya. Sedangkan kompisisi saham, APCI memegang saham mayoritas sebesar 60%, PTBA 20%, dan PT Pertamina (Persero) 20%. Pabrik gasifikasi di Peranap ini diharapkan dapat mulai beroperasi pada tahun 2022. Kapasitas pabrik yang akan didirikan dengan kapasitas 400 ribu ton DME per tahun, dan 50 mmscfd SNG.
Andai saja proyek ini terealisasi, kemanfaatan bagi pemerintah cukup besar. Apabila proyek gasifikasi batubara tersebut sudah beroperasi, dapat menekan impor Liquefied Petroleum Gas (LPG) sebesar 1 juta ton per tahun, sehingga akan ada penghematan devisa impor LPG sebesar 9,1 triliun rupiah per tahun, serta akan menambah investasi sebesar USD 2,1 miliar.
Begitu pun dari sisi penyerapan tenaga kerja, pada tahap konstruksi proyek gasifikasi batubara menjadi DME akan menyerap sebanyak 10.600 tenaga kerja, sedangkan pada tahap operasi akan menyerap 8.000 tenaga kerja.
Sementara itu, benefit bagi PTBA adalah termanfaatkannya batubara kalori rendah GAR<4000 kalori yang selama ini memiliki nilai jual rendah. Kemudian PT Pertamina (Persero), sebagai penyerap produk DME, akan mendapatkan marjin dari penjualan dan menjadi satu-satunya distributor penjualan DME.
Proyek ini ditargetkan untuk Commercial Operation Date (COD) pada kuartal IV/2027 mendatang. PTBA akan memproduksi DME sebesar 1,4 juta ton per tahun dengan bahan baku batubara sebanyak 6 juta ton per tahun.
Sebagai informasi, proyek gasifikasi batubara PTBA menjadi DME Tercantum sebagai Proyek Strategis Nasional di dalam Perpres No 109 Tahun 2020 tanggal 20 November 2020. Dan sudah dilakukan pelatakan batu pertama (groundbreaking) oleh Presiden Joko Widodo pada 24 Januari 2022.
Menurut Dadan Kusdiana selaku Direktur Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE) Kementerian ESDM, DME akan mengurangi emisi CO2. Selain itu dirinya menyebutkan bahwa penggunaan menggantikan LPG bisa menekan gas rumah kaca.
“Dengan DME hitungannya (emisi) akan berkurang menjadi 745 kg CO2. Ini nilai-nilai yang sangat baik sejalan dengan upaya global menekan emisi gas rumah kaca,” ujarnya.
Namun, sampai akhir tahun 2022, proyek ini tak kunjung direalisasikan oleh APCI. Bahkan pada awal tahun 2024, secara mengejutkan, perusahaan ini menyatakan mundur dari proyek ini, tanpa alasan yang jelas. Lalu bagaimana respon PTBA terhadap keputusan APCI ini?
PTBA Tak Putus Asa
Apakah ikut mundur? Ternyata tidak, PTBA tak putus asa dan pantang menyerah. Bahkan saat ini PTBA sudah mendapatkan calon mitra baru untuk menggantikan APCI. Salah satu calon mitra yang dipertimbangkan adalah East China Engineering Science and Technology.
Tapi kerjasama yang dibangun bukan hilirisasi batubaru menjadi DME, melainkan project konversi batubara menjadi Artificial Graphite dan Anode Sheet untuk bahan baku baterai Lithium-ion (Li-ion). Peluncuran perdana (soft launching) pilot project tersebut telah berlangsung di Kawasan Industri Tanjung Enim pada 15 Juli 2024 lalu.
Peluncuran ini dihadiri Direktur Portofolio dan Pengembangan Usaha MIND ID Dilo Seno Widagdo, Direktur Utama PT BA Arsal Ismail beserta jajaran Direksi PTBA serta Direktur Pemanfaatan Riset dan Inovasi pada Industri BRIN Mulyadi Sinung Harjono.
Sebagai anggota Grup MIND ID, dalam proyek ini PTBA bekerja sama dengan Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN). Konversi batu bara menjadi Artificial Graphite dan Anode Sheet ini merupakan yang pertama di dunia, sekaligus akan memperkuat rantai pasok kebutuhan baterai kendaraan listrik di dunia.
Pada peluncuran pilot project tersebut, Direktur Utama PT Bukit Asam Tbk, Arsal Ismail mengatakan, pengembangan batu bara menjadi Artificial Graphite dan Anode Sheet untuk bahan baku baterai Li-ion merupakan wujud komitmen PTBA dalam mendukung kebijakan Pemerintah untuk mendorong hilirisasi batu bara serta menjaga ketahanan energi nasional.
“Bukit Asam ingin menghadirkan energi tanpa henti untuk negeri. Salah satu upaya yang kami lakukan yakni dengan mewujudkan industri batubara dengan clean technology di Indonesia. Pengembangan batu bara menjadi Artificial Graphite dan Anode Sheet juga akan mendukung kemajuan industri kendaraan listrik di dalam negeri,” ujar Arsal.
Kebutuhan Artificial Graphite dan Anode Sheet akan semakin meningkat di masa mendatang, seiring dengan pertumbuhan industri kendaraan listrik. Tak hanya untuk industri kendaraan listrik, Artificial Graphite dan Anode Sheet juga dibutuhkan industri-industri lain seperti industri penyimpanan energi, elektronik hingga peralatan medis.
Hilirisasi tersebut sejalan dengan visi PTBA menjadi perusahaan energi kelas dunia yang peduli lingkungan, serta mendukung pencapaian target Net Zero Emission (karbon netral) pada 2060 atau sebelumnya.
“Dari kolaborasi-kolaborasi serta penelitian dan pengembangan itu, kami berharap tercipta inovasi yang mempertimbangkan skala keekonomian, sehingga hilirisasi batu bara bisa dijalankan,” ujar Corporate Secretary PT Bukit Asam Tbk, Niko Chandra di tempat terpisah.
Meski telah berkerja sama dengan berbagai pihak, Niko juga menuturkan PTBA terbuka untuk bekerja sama dengan mitra yang kompeten dalam bidang hilirisasi batubara guna mengembangkan industri hilirisasi di Indonesia. “Dengan dukungan kuat dari Pemerintah, PTBA optimis hilirisasi batu bara dapat diwujudkan,” ucapnya.
Pemerintah Indonesia sendiri telah menawarkan kerja sama kepada Pemerintah Tiongkok untuk mengembangkan dan meningkatkan nilai tambah batubara dalam bentuk produk lain, seperti coal quality improvement (coal upgrading), coal briquetting, cokes making, dan coal liquefaction.
Program Energi Baru Terbarukan
Selain prgram hilirisasi, PTBA juga mulai memanfaatkan lahan bekas tambang untuk dijadikan lokasi pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) dengan potensi kapasitas mencapai 200 Megawatt peak (MWp). Rrencana tersebut merupakan salah satu upaya dan komitmen dari perusahaan dalam pengembangan Energi Baru Terbarukan (EBT) dan dekarbonisasi berkelanjutan.
Beberapa lokasi paska tambang yang sedang dilakukan penjajakan untuk digunakan sebagai lahan pembangunan PLTS dantaranya adalah lahan pasca tambang Ombilin (Sumatera Barat), Tanjung Enim (Sumatera Selatan), dan Bantuas (Kalimantan Timur). Penjajakan kerja sama juga dilakukan dengan berbagai pihak untuk mendorong pengembangan teknologi di bidang energi baru dan terbarukan (EBT).
Diantaranya melalui kolaborasi dengan Badan Riset & Inovasi Nasional (BRIN) dan berbagai perguruan tinggi untuk mendapatkan peluang potensi pengembangan yang optimal.
Sebagaimana diketahui, dalam beberapa tahun terakhir PTBA telah membangun PLTS di Bandara Soekarno-Hatta bekerja sama dengan PT Angkasa Pura II (Persero), yang telah beroperasi penuh sejak Oktober 2020.
PLTS tersebut berkapasitas maksimal 241 kilowatt-peak (kWp) dan terpasang di Gedung Airport Operation Control Center (AOCC). Selain dengan PT Angkasa Pura II, PTBA juga bekerja sama dengan Jasa Marga Group untuk pengembangan PLTS di jalan-jalan tol.
PLTS berkapasitas 400 kWp di Jalan Tol Bali-Mandara telah selesai dibangun dan mulai beroperasi sejak 21 September 2022 lalu. Selain itu di beberapa wilayah di Sumatera Selatan dan Lampung, juga telah dibangun PLTS untuk mendukung pertanian, dimana PLTS digunakan petani untuk menghidupkan mesin pompa air yang dialirkan ke persawahan.
Melalui sebaran pembangunan PLTS ini, PTBA menargetkan peningkatan kontribusi pendapatan dari energi terbarukan hingga sekitar 30% pada 2030. PTBA berencana memperluas portofolio energi terbarukan lebih dari 200 megawatt peak (MWp).
Energi terbarukan memang masih berkontribusi minimal terhadap pendapatan PTBA, tapi pengembangan proyek yang berhasil dan tepat waktu dapat menghasilkan ESG rerating untuk PTBA.
Dukungan Dekarbonisasi
Untuk mendukung Pemerintah mencapai target Net Zero Emission di tahun 2060, PTBA juga telah menjalankan sejumlah program untuk mendukung dekarbonisasi.
Dari sisi operasional, selain implementasi Good Mining Practice, Perusahaan juga menerapkan Eco Mechanized Mining yakni mengganti peralatan pertambangan yang menggunakan bahan bakar fosil menjadi elektrik.
Beberapa alat berbasis listrik yang telah digunakan PTBA di antaranya Ekskavator Listrik berjenis Shovel PC-3000, Dump Truck sekelas 100 Ton hybrid (Diesel dan Listrik), dan Pompa Tambang berbasis Listrik.
PTBA juga telah mengoperasikan bus listrik di Pelabuhan Tarahan dan Unit Pertambangan Tanjung Enim. Perusahaan juga menerapkan E-Mining Reporting System, yaitu sistem pelaporan produksi secara real time dan daring sehingga mampu meminimalkan pemantauan konvensional yang menggunakan bahan bakar.
Inovasi lainnya, PTBA mengembangkan lahan basah buatan (constructed wetland) untuk menghilangkan bahan pencemar seperti logam berat dan mampu menetralkan air asam tambang. Selain itu, melakukan pemafaatan FABA (abu sisa pembakaran batubara) untuk memulihkan kadar asam pada air di lokasi eks tambang.
Program dekarbonisasi paling anyar di PTBA adalah merealisasikan program co-firing pada PLTU, yakni melakukan blanding batubara dengan serbuk kayu (Wood Pellet) sebagai bahan bakar. Pengembangan Wood Pellet ini merupakan kelanjutan dari program budidaya Kaliandra Merah untuk biomassa yang telah dimulai PTBA pada tahun 2023. Saat ini kapasitas produksi yang mampu dihasilkan dari Pilot Plant sebanyak 200 kg per jam.
Program-program dekarbonisasi ini merupakan bagian dari roadmap manajemen karbon PTBA hingga tahun 2060 yang akan terus dilaksanakan dan dikembangkan secara berkelanjutan di setiap lini perusahaan untuk memberikan hasil yang optimal. (Dahri Maulana)
** Tulisan ini merupakan kepsertaan penulis pada Anugerah Jurnalistik MIND.ID 2024