Stabilitas Spiritual Di Era Digital
Oleh: Laelina Farikhah
Di era digital yang semakin praktis, kegiatan masyarakat mampu berjalan semakin efektif dan efisien. Jangkauan ruang jarak dan waktu menjadi mudah didapati karena pemanfaatan teknologi. Kemudahan mengakses informasi seakan menjadi buah manis yang kini dapat dinikmati lapisan masyarakat luas. Tak ayal, transformasi kehidupan merambah pada gaya dan pola hidup yang semakin modern.
Dunia digital kini tak lepas dari dominasi media dalam penggunaan internet. Ulasan Agnes Yonata, bahwa media sosial mendatangkan arus deras informasi yang tidak dapat dikendalikan menjadi pekerjaan rumah yang perlu diselesaikan. Meski dampak positif tak lepas jadi syarat adanya kemajuan, jika tidak diimbangi dengan filtrasi yang baik, arus deras ini juga mendatangkan tantangan besar yang tidak dapat dipungkiri. (Agnes Yonatan, 2025).
Tanpa disadari, dampak negatif merambah pada penurunan ketertarikan aktivitas fisik, berkurangnya minat dalam sosial eksperimen dan malasnya logika berfikir mulai mengakar pada jati diri generasi muda. Karena sebagian dari mereka cenderung memilih berselancar menghabiskan waktu di ruang dunia maya. Alhasil generasi muda saat ini minim akan interaksi sosial yang berimbas pada hilangnya karakter positif, menurunnya daya nalar kritis dan memunculkan sifat individualis.
Menurunnya Spiritualitas Masyarakat
Tantangan yang demikian tidak hanya merubah karakter dan sifat seseorang saja, namun berhasil merenggut jati diri seseorang dan menurunkan nilai spiritualitas (Al Yasin et al., 2022).
Karena erat kaitannya, ketika nilai spiritualitas hilang pada diri seseorang, keresahan muncul akibat catatan sosial yang mengkhawatirkan. Lunturnya budaya lokal, maraknya situs tidak layak konsumsi, menjadi bibit baru akan potensi kejahatan.
Jika hal ini dibiarkan, kebobrokan generasi bangsa akan semakin terlihat sangat jelas dari masa ke masa. Untuk menyeimbangkan percepatan digitalisasi serta kesiapan masyarakat dalam pemanfaatannya, dibutuhkan penguatan nilai spiritualitas dan religiusitas sebagai pondasi dan penyeimbang ketimpangan tersebut.
Pembiasaan nilai dan praktik spiritual
Berusaha menjawab tantangan yang ada, Kementrian Pendidikan Dasar dan Menengah (Kemendikdasmen) telah meluncurkan Gerakan 7 Kebiasaan Anak Indonesia Hebat di akhir tahun 2024 . Hal ini menjadi titik balik penyeimbang keresahan yang mengitari percepatan digitalisasi saat ini. Pembiasaan bangun pagi, beribadah, berolahraga, makan sehat dan bergizi, gemar belajar, bermasyarakat dan tidur cepat menjadi wujud konkret dari Kemendikdasmen dalam menanggulangi keresahan dan juga untuk memperkuat karakter anak bangsa.
Penanaman karakter religius, bermoral, sehat, cerdas, kreatif, kerja keras, disiplin, mandiri dan bermanfaat menjadi bibit unggul yang nantinya dapat dikembangkan pada tiap individu generasi bangsa. Selaras dengan yang disampaikan oleh Abdul Mu’ti selaku Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah, bahwa pendidikan tidak hanya seputar transfer pengetahuan saja, melainkan penanaman karakter sehingga membentuk anak-anak Indonesia menjadi pribadi yang cerdas secara intelektual, sosial dan spiritual (Tim Kerja Data, 2024).
Religiusitas sebagai cahaya diri seseorang harus ditanamkan sangat mendasar, karena tautan hati manusia dengan Tuhannya dapat meningkatkan pemahaman tujuan hidup yang lebih terarah dan bermakna bagi banyak orang (Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah, 2025).
Penanaman karakter religiusitas terimplementasikan mulai dari bangun pagi sebagai wujud syukur kepada Tuhan atas nikmat yang dikaruniakan kepada tiap individu. Menjaga kesehatan fisik dengan berolahraga dan mengonsumsi makanan bergizi juga salah satu bentuk ikhtiar dalam menjaga religiusitas karena dibalik fisik yang sehat dan kuat dapat memudahkan langkah tiap individu dalam beribadah dan beramal.
Tak hanya itu kebiasaan belajar dan bermasyarakat juga sebagai wujud menjaga stabilitas keimanan seseorang agar mereka dianugerahi nalar kritis yang positif sehingga dapat memfilter yang haq dan yang bathil dan diamalkan ditengah kehidupan sehingga dirasakan dampaknya oleh masyarakat sekitar.
Dengan pembiasaan yang konkret dan terstruktur, generasi muda jauh lebih mengerti akan makna tanggung jawab. Menjadikan diri mereka menjadi pribadi yang produktif dan memiliki gagasan positif. Kemurnian spiritual yang diiringi dengan pola pikir yang baik menjadi tameng dan penyeimbang generasi muda dalam menghadapi tantangan serta pemanfaatan media sosial di era digital saat ini.
Selain memberikan dampak positif pada pola pikir, penanaman spiritualitas juga tidak pernah lepas dari moralitas. Menjadi hukum alam ketika spiritualitas individu baik maka moralitas individu juga baik. Sehingga dalam menghadapi era digital, tiap individu dapat mengatur kecerdasan emosional, mendorong masyarakat untuk terlibat dalam kegiatan sosial masyarakat. Menguatkan nilai-nilai empati, tanggung jawab, dan kedisiplinan yang signifikan dalam pengembangan karakter moral dan kepribadian untuk generasi mendatang. (Rahma et al., 2024).
Sebagai bentuk ikhtiar dalam menjaga stabilitas spiritual dalam diri kita, tentu dibutuhkan kesadaran dari diri kita untuk senantiasa menjaga kemurnian hati, pikiran dan perkataan kita. Agar nantinya afirmasi positif dari dalam diri kita mampu membangun semangat istiqomah dalam melaksanakan pembiasaan yang telah digagas tersebut. Sehingga pembiasaan tersebut tidak hanya sekedar program gagasan saja, namun benar-benar menjadi kebiasaan yang melekat pada diri kita dan mendatangkan ketrentaman jiwa dalam menghadapi tantangan era digital ini. (*)
*) Penulis adalah Guru Pondok Pesantren Modern Zam-Zam Muhammadiyah Cilongok, Banyumas, Jawa Tengah.
