Harus Diusut Tuntas, Wabup Banyuasin Heran BPN Terbitkan SHM Lahan Fasum Griya Handayani
BANYUASIN | Populinews.com — Wakil Bupati Banyuasin, H. Slamet Somosentono SH, memberikan respon serius terhadap masalah lahan SMP Negeri 6 di Komplek Griya Handayani, Kelurahan Sukajadi, Kecamatan Talang Kelapa, yang diklaim Jhonson, salah satu keluarga dari pengembang komplek perumahan ini. Sebab, munculnya klaim kepemilikan lahan seluas 5.309 meter persegi ini, berikut adanya sertifikat hak milik, membuat resah Kepala Sekolah dan para guru yang mengajar serta seluruh warga Handayani yang anaknya bersekolah disini.
Wabup Slamet Sumosentono yang mampir usai kunker di Air Batu, Rabu (16/2/2022) siang, sengaja menyempatkan waktunya untuk berdialog langsung dan dengar pendapat dengan pihak sekolah termasuk warga Handayani. Tujuannya, tak lain untuk mendapatkan informasi yang jelas tentang duduk persoalan lahan sekolah yang diakui Jhonson, berikut ikhwal terbitnya sertifikat hak milik tersebut oleh BPN.
”Hari ini, saya sengaja mampir kesini untuk melihat dan mengetahui langsung persoalan klaim lahan sekolah ini. Tentu saja, jangan sampai berlarut-larut. Masalah tanah ini memang pelik, tapi pelan-pelan kita selesaikan,” ujarnya setelah sebelumnya sempat mendengarkan beberapa pendapat dari para pejabat OPD terkait yang ikut hadir.

Adapun pejabat yang hadir antara lain, Asisten I Setda Banyuasin Hasmi S. Sos, Pejabat Inspektorat, Kepala Dinas Pendidikan Aminuddin S.Pd, Pejabat BPN, pejabat Dinas Perkimtan, Pejabat PUTR, utusan BPKAD, utusan Disporata Sirojuddin S.Sos, Kabag Tata Pemerintahan (Tapem) Pujianto, Camat Talang Kelapa Arifin Nasution, Lurah Sukajadi, utusan Polres Banyuasin serta Kepala Sekolah SMPN 6 sendiri. Sedangkan dari pihak warga, hadir Ketua RW 15, Djamil S.Sos dan perangkatnya, serta beberapa Ketua RT dan tokoh masyarakat.
Sebelumnya, persoalan sertifikat hak milik di lahan SMP Negeri 6 ini, sudah dibahas oleh Wabup di ruang rapat kantor Pemkab Banyuasin, dengan mengundang beberapa pejabat terkait. Namun sayangnya tidak tuntas karena dari pihak pemilik sertifikat, yakni Jhonson tidak hadir.
Dialog dimoderatori oleh Kabag Tapem Pujianto, yang mengatakan persoalan lahan ini bisa ditelisik dari sejarah awal warkah tanah hingga berdirinya komplek perumahan ini. Ia juga menunjukkan copy sertifikat lahan atas nama Jhonson berikut copy surat usulan perubahan siteplant yang menjadi dasar terbitnya sertifikat tersebut.
”Disini tertera ada nama empat orang pemilik awal lahan ini. Jika mereka semuanya masih hidup, atau jika sudah meninggal tapi ada ahli warisnya yang faham mengenai ini, sebaiknya dihadirkan dalam rapat. Dengan demikian diharapkan masalah lahan ini bisa dirunut dengan benar berdasarkan kesaksian mereka,” ujarnya.
Dikatakan, berdasarkan dokumen tersebut, total awal luas lahan Griya Handayani direncanakan seluas 99.801 meter persegi. Lalu kemudian sertifikat induknya dipecah, hingga tersisa 34.218 meter pesegi. Karena pembangunan perumahan ini direncanakan dua tahap. Tapi kemudian, sertifikat kedua tersebut dipecah lagi sehingga kepemilikannya menjadi empat orang, termasuk salah satunya atas nama Mustafa Tenar, selaku pengembang. Terakhir adalagi pemecahan tersetifikat atas nama Johnson seluas 800 meter persegi, sehingga tersisa lahan yang belum disertifikatkan sebanyak 2,3 hektar.
”Tetapi dimana posisi persis lahan-lahan ini? tentu kita ingin tahu berdasarkan sertifikat-sertifikat itu. Termasuk dokumen pendukung lainnya yang resmi dan otentik yang telah diterbitkan pemerintah,” ujarnya sembari meminta bantuan warga Handayani yang hadir untuk mencari alamat pemegang sertifikat-sertifikat awal tersebut.
Dikatakan, berdasarkan Undang-undang No. 4 Tahun 1992 tentang Perumahan dan Pemukiman jelas disebutkan bahwa setiap pengembang yang ingin membangun perumahan harus mengkoordinasikan penyediaan fasilitas umum dengan pemerintah daerah. Apakah 25 persen atau 30 persen dari luas lahan. Hal itulah yang menjadi salah satu dasar bagi Pemkab untuk penerbitan izin mendirikan bangunan (IMB).
Kemudian ketika pembangunan dinyatakan selesai, dalam arti semua rumah sudah laku terjual secara kredit lewat perbankan, maka pengembang wajib menyerahkan seluruh aset perumahan tersebut, termasuk lahan fasum kepada pemerintah daerah untuk mengelolanya lebih lanjut. Dengan pelepasan hak ini, maka pengembang tidak punya hak dan kewenangan apapun lagi terhadap lahan perumahan yang telah dibangun tersebut.
”Nah ini yang perlu kita telisik, jangan-jangan ketika komplek Handayani ini selesai dibangun dan sudah laku terjual, pihak pengembang tidak melakukan itu (menyerahkan ke Pemkab-red), lalu belakangan lahan fasum beralih hak kepada pihak lain,” ujarnya.
Sementara itu, Asisten I, Hasmi S. Sos, mengatakan kasus seperti ini pernah terjadi di perumahan Maskrebet, Kecamatan Sukarame Palembang. Awalnya lahan yang dibangun kurang lebih 2.000 meter2 sudah termasuk lahan fasum. Tapi belakangan, setelah semua rumah terjual dan dihuni warga, lahan fasum tersebut dijual lagi oleh ahli waris pengembang dengan cara merevisi siteplant. Alhasil, lahan perumahan itu tersisa 1.000 meter2 saja.
”Nah kasus lahan fasum Handayani ini, bisa jadi sama. Pertanyaannya, jika benar ada perubahan atau revisi siteplant, kapan itu dilakukan dan berubah menjadi sarana apa lahan itu? Tapi, jika faktanya lahan itu berubah jadi hak milik, tentu muncul pertanyaan lagi. Dari siapa tanah tersebut didapat, dibeli dari siapa atau bagaimana. Nah ini yang perlu kita ketahui lewat forum ini?” ujarnya.
Hasmi juga mengatakan sah-sah saja, pemegang sertifikat mengakui lahan SMPN 6 ini adalah miliknya. Tapi tidak tertutup kemungkinan terbitnya sertifikat itu tidak melalui proses yang benar. ”Sekarang di hadapan kita ada utusan dari BPN, mungkin beliau bisa menjelaskan,” ujarnya sambil mempersilahkan, pejabat BPN yang hadir, bernama Bojest.
Namun sayangnya Bojest tidak mengetahui dasar dan latar belekang terbitnya sertifikat hak milik atas nama Jhonson tersebut. Ia hanya mengakui, beberapa waktu lalu sempat melakukan pengukuran ulang mengenai batas-batas dan luas lahan 5,309 m2, yang tertera di sertifikat, karena ada desakan warga Handayani. ”Hasil pengukuran kami, luas lahan tersebut betul seukuran seperti tertera dan lahannya yang ditempati SMPN 6 ini,” katanya.
Menjawab pertanyaan Asisten I, apakah pihak BPN tahu bahwa lahan yang disertifkatkan itu adalah lahan fasum perumahan Handayani, yang belakangan diusulkan warga untuk dibangun gedung SMPN 6? Bojest mengaku dirinya tidak mengetahui ihkwal itu.
”Nah disinilah sumber masalahnya. Seharusnya, pihak BPN lebih teliti meninjau ke lapangan untuk melihat langsung lokasi lahan yang diajukan, sebelum menyetujui pengajuan pembuatan sertifikat oleh pihak-pihak tertentu. Cari tahu dulu kedudukan dan asal-usul sebenarnya lahan tersebut sesuai dengan dokumen-dokumen alas haknya,” ujar Asisten I sembari mengatakan, pentingnya memanggil Kepala BPN dalam rapat berikutnya untuk meminta penjelasan.

Tak Ujug-ujug Ganti-rugi
Selanjutnya Aisten I, juga mengatakan, dengan terbitnya sertifikat hak milik di atas lahan SMPN 6 ini, bisa berimplikasi langsung terhadap kemungkinan adanya tuntutan ganti rugi dari pemegang sertifikat. Apalagi sertifikat ini sudah terkoneksi dengan sistem NIB di Kementerian Hukum dan HAM. Ini tidak mungkin dibatalkan kecuali melalui proses hukum di pengadilan.
Kendati demikian, Lanjut Asisten I, sampai detik ini Pemkab Banyuasin belum mengarahkan pembahasan ke persoalan ganti-rugi tersebut. ”Ini persoalan ibarat benang kusut. Harus diurai satu persatu dari ujung yang satu ke ujung yang lain. Jadi tak ujug-ujug mengarah kepada sikap mau mengganti-rugi atau tidak,” ujarnya.
Pernyataan senada juga dikemukakan pejabat Inspektorat Banyuasin yang ikut hadir. Menurutnya ganti rugi bisa dilakukan pemerintah, jika objeknya adalah hak milik pribadi masyarakat. Tetapi terhadap lahan fasitas umum yang menjadi hak pemerintah daerah, sekalipun dikuasi secara pribadi oleh pihak tertentu, ganti rugi tidak mungkin bisa dilakukan.
”KPK jelas-jelas menyatakan, ganti rugi terhadap lahan pemerintah atau negara yang dikuasi oleh swasta, sama dengan tindakan korupsi. Karena itu kita harus hati-hati sekali terhadap kasus lahan SMPN 6 ini,” ujarnya.
Sementara itu, Ketua RW 15 Handayani, Djamil S.Sos menambahkan bahwa hampir semua warga komplek ini, yang sudah lebih 25 tahun menetap, rata-rata mengetahui persis, bahwa sejak awal pembangunan komplek perumahan ini, pengembang menyediakan beberapa lahan untuk fasum. Seperti lahan mesjid, lahan sekolah (sekarang SDN 53), lahan Puskesmas, Lahan Sarana Olahraga, serta lahan untuk pasar dan terminal.
Semua lahan fasum tersebut tergambar jelas di lembaran siteplan, yang juga menjadi dasar bagi BTN, selaku bank yang mendanai pembangunan perumahan ini, ketika melakukan akad kredit dengan konsumen. Hanya saja hingga sekarang, lahan-lahan fasum tersebut belum ada bangunan fisiknya, kecuali Mesjid Al-Mukhlisin dan Sekolah.
”Lahan fasum ini kan include dengan rumah yang kami beli. Karena itu kami terkejut ketika mengetahui ada lahan fasum yang diambil pihak lain, bahkan sudah diterbitkan sertifikatnya,” ujarnya.
Djamil juga mengaku heran, kenapa setelah lahan fasum tersebut sudah berdiri bangunan SMPN 6 pada tahun 2019, tiba-tiba ada yang komplain. Jika benar sertifikat yang dipegang pemilik sudah ada sejak tahun 2013, kenapa tidak diklaim sewaktu gedung sekolah mau dibangun, bukan setelah selesai dibangun dan digunakan.
Komplain pihak yang mengaku pemilik lahan, jelas memberikan dampak psykologis bagi para guru dan murid yang melakukan proses belajar mengajar. Mereka menjadi tidak tenang dan resah.
”Kami berterima-kasih sekali bapak Wabup bisa hadir langsung dalam pertemuan ini. Sebab masalah ini bukan saja membuat resah para guru dan murid sekolah, tapi juga mersahkan warga Handayani secara keseluruhan. Mudah-mudahan bisa diselesaikan dengan bijaksana,” ujar Djamil.
Menyusul kemudian, salah seorang Ketua RT di Handayani, Abu Bakar, juga memberikan masukan agar persoalan ini bisa diselesaikan dengan baik. Namun untuk mencari kebenaran dalam masalah ini, memang perlu pembuktian yang mungkin memakan waktu, tenaga dan biaya.
”Kami selama berpuluh tahun hingga sekarang hidup tenang bermasyarakat. Tapi munculnya permasalahan lahan fasum ini, jadi terusik juga. Mudah-mudahan Allah SWT melindungi kita semua dan masalah ini bisa diselesaikan dengan baik. Bila perlu kita bacakan Yasin agar persoalan ini terang benderang,” ujarnya.
Usai Abu Bakar memberikan pendapatnya, rapat pun dijeda beberapa menit, karena kedatangan ahli waris pengembang, bernama Fauzan Akbar. Ia mengaku mendapat telpon dari seseorang agar menghadiri rapat ini.
Kedatangan Fauzan langsung direspon moderator dan mempersilahkannya untuk menerangkan duduk masalah lahan ini, sebagaimana yang ia ketahui. Namun, sebelum berbicara Fauzan langsung terisak-isak menangis, lantaran teringat dengan perjuangan ayahnya (Mustafa Tenar-Alm) selaku pengembang, ketika mengawali pembangunan komplek perumahan Handayani ini.
,
”Sebenarnya saya tidak tahu persis bagaimana sejarah lengkapnya. Tapi sebagian saya tahu juga dari cerita ayah saya dan keluarga, karena saat pembangunan perumahan ini dimulai, usia saya masih kecil dan dalam gendongan. Tapi tahun-tahun perkembangan berikutnya saya ada juga tahu,” ujarnya mengawali.
Ia pun lantas bercerita panjang lebar mengenai sosok sang ayah, yang katanya saat itu berjuang membangun perumahan ini untuk tujuan amal jariah. Sayangnya, ketika ditanyakan oleh moderator, mengenai asal-usul sertifikat lahan fasum handayani yang ditempati SMPN 6 ini?. Ia justru mengaku tidak tahu persis. ”Yang mnengerti persis saudara saya Jhonson. Tapi sekarang ia sedang berada di Bengkulu,” ujarnya.

Wabup Minta BPN Kaji Ulang
Setelah mendengarkan berbagai penjelasan dari para pembicara, Wabup Banyuasin pun langsung memerintahkan pejabat yang hadir, terutama BPN Banyuasin, untuk segera mengusut asal-usul munculnya sertifikat hak milik tersebut. Sebab, lahan SMP Negeri 6 ini, berdasarkan Siteplant yang dimiliki warga perumahan Handayani, sejak tahun 1996 adalah bagian dari fasilitas umum, yang tadinya direncanakan akan dibangun terminal dan pasar oleh pengembang, yakni Koperasi Budi Daya yang dimpimpin Mustafa Tenar (alm).
Hanya saja, kedua fasum tersebut gagal dibangun karena berdasarkan hasil survei tim Pemkab yang turun, lahan fasum tersebut tidak cocok untuk terminal, karena terlalu jauh dari jalan raya kota. Begitu juga untuk pasar, dinilai tidak cocok karena di Sukajadi sudah ada pasar kalangan yang tak jauh dari jalan raya. Alhasil lahan ini pun hingga tahun 2018 akhir, masih berupa lapangan terbuka, yang kerap dimanfaatkan masyarakat untuk tenda panggung ketika hajatan.
”Lalu mengapa ada yang memiliki lahan ini atas nama pribadi. Hal inilah yang perlu diperjelas. Apalagi sertifikatnya diterbitkan tahun 2013. Ini rentang waktunya antara 1996 dengan 2013 itu sangat panjang sekali. Tolong bapak yang dari BPN untuk menelusuri ulang, mengapa bisa tanah fasum yang sejatinya milik negara, dalam hal ini Pemkab Banyuasin, bisa ada sertifikat atas nama pribadi. Kita ingin masalah ini cepat diselesaikan dan ada kejelasan,” ujarnya.
Dikatakan Pemkab juga tidak mungkin memberikan ganti rugi, jika lahan ini ternyata masih bermasalah. Lahan fasum perumahan termasuk fasilitas jalan-jalan di dalamnya, jika sudah diserahkan pengembang ke Pemkab, itu adalah kewenangan Pemkab.
”Kita juga ingin tahu apakah semua lahan fasum di Komplek Perumahan Handayani ini sudah diserahkan pengembang ke Pemkab, atau memang belum sama sekali,” ujarnya.
Karena itu, lanjut Wabup, persoalan ini akan dibahas lagi dalam rapat berikutnya. Ia berharap pemilik sertifikat, Jhonson, termasuk para ahli waris pengembang, serta pihak-pihak lain seperti Notaris serta warga Handayani yang faham masalah ini, untuk dihadirkan dalam pertemuan lanjutan tersebut. ”Nati kita jadwalnya waktunya kapan,” ujarnya.
Kepada para guru dan kepala SMPN 6 yang juga hadir, Wagub berpesan agar tetap bersemangat melakukan tugas masing-masing. ”Tidak perlu khawatir dan pesemis, Pemkab akan memperjuangkan masalah ini, hingga tuntas, tanpa memberikan dampak apapun terhadap aktivitas sekolah. Lakukanlah tugas masing-masing seperti biasanya,” ujar Wabup menutup pertemuan yang berlangsung hampir dua jam tersebut. (dm)
Editor : Dahri Maulana
