Etika, Etiket dan Hukum
Oleh: Pradikta Andi Alvat
PNS Pengadilan Negeri Rembang
Etika secara etimologis berasal dari bahasa yunani ‘Ethos’ yang artinya adalah watak. Watak dapat diartikan sebagai perilaku kebiasaan. Oleh sebab itu, etika memiliki similiaritas dengan moral, yang dalam bahasa latin disebut ‘mos’ yang artinya kebiasaan. Berpijak pada hal tersebut maka setiap bangsa dan setiap negara tentu memiliki kebiasaan dan tata nilai yang berbeda (relativisme kultural), yang berimbas pada pemaknaan yang berbeda mengenai apa itu etika dan moral.
Dalam ilmu filsafat, etika merupakan filsafat moral yang merujuk pada nilai kesusilaan, mengkonsepsikan mengenai apa yang baik dan apa yang buruk sebagai pedoman dan pandangan hidup manusia. Etika moral merupakan kaidah tentang asas-asas ahklak yang bersumber dari nurani dan common sense of humanity. Nurani dan common sense of humanity sendiri dipengaruhi oleh jiwa bangsa (volkgeist) yakni kompleksitas antara abstraksi kemanusiaan, nilai budaya, ideologi, social interest, dan keyakinan/religous.
Akan tetapi, realitivisme etika bukanlah relativisme yang sifatnya dominan, dalam arti lain, etika secara esensial pada dasarnya merupakan nilai-nilai kemanusiaan universal yang sifatnya ajeg tidak terbatas pada waktu dan tempat. Nilai-nilai abstrak seperti jangan merugikan, jangan menyiksa, keberpihakan pada pihak yang lemah, jangan rakus, hingga kejujuran merupakan etika yang sifatnya universal. Etika yang bersifat universal berkenaan dengan kepentingan publik.
Di sisi lain, etika juga mengandung relativisme. Etika yang sifatnya relatif cenderung berkenaan dengan pilihan dan urusan privat, misalnya masalah apakah pernikahan sesama jenis itu etis atau tidak etis, kemudian apakah kumpul kebo dan memiliki anak di luar perkawinan itu etis atau tidak etis. Perihal ini, tentu setiap bangsa memiliki preferensi dan pemaknaan sendiri terkait etika moral.
Etika dan Etiket
Dalam preferensi publik, etika sendiri cenderung diartikan hanya sebatas sebagai sopan santun dan tata krama, jika yang dimaksud adalah sopan santun dan tata krama, maka itu disebut sebagai etiket.
Meskipun demikian, ada persamaan yang melekat antara etika dan etiket. Persamaan antara etika (yang tidak dipositivisasi menjadi hukum formal) dan etiket terletak pada aspek penjatuhan sanksi, yakni sama-sama dijatuhi sanksi sosial (dikucilkan, digunjingkan dll) sedangkan perbedaannya adalah perihal produk implementasinya, bahwa etika dapat menjadi sumber hukum materil yang dipositivisasi menjadi peraturan perundang-undangan sedangkan etiket tidak bisa menjadi sumber hukum materil yang dipositifkan.
Selain itu, etika cenderung ajeg dan universal. Sedangkan etiket sifatnya sangat relatif. Pelanggaran terhadap etika akan memberikan dampak instabilitas sosial dan kerugian psikologis-materil-individu sedangkan pelanggaran terhadap etiket hanya memberikan dampak terhadap terganggunya estetika sosial.
Etika sendiri adalah nilai abstrak universal (meskipun terdapat relativisme) yang tertuju pada kesusilaan dan humanity. Tentang apa yang baik dan buruk. Sedangkan etiket itu adalah nilai kepantasan dalam interaksi yang sifatnya sangat relatif. Misalnya terkait memakai celana panjang atau pendek ke pesta perkawinan, makan memakai tangan kanan atau kiri di acara makan bersama, mengucapkan salam atau tidak saat perkenalan dan lainnya.
Konkretnya, etika/moral merupakan standar baik dan buruk sedangkan etiket/sopan santun merupakan standar pantas dan tidak pantas atau sopan dan tidak sopan. Etika sendiri dapat didistingsi menjadi etika umum (berlaku untuk semua manusia) sebagaimana di atas dan juga etika khusus yakni code of conduct yang hanya berlaku secara internal-imperatif terhadap profesi-profesi tertentu dalam menjalankan profesi yang memerlukan keahlian, tugas, dan pengetahuan spesifik dan berdampak secara publik.
Relasi Etika dan Hukum
Etika adalah filsafat moral yang sifatnya abstraktif tentang standar mana yang baik dan mana yang buruk. Sedangkan hukum, jika diruntut menjadi pengertian dalam yang arti yang paling sempit adalah peraturan perundang-undangan (undang-undang).
Hukum dalam arti undang-undang fungsi dasarnya adalah untuk mengatur tata kehidupan masyarakat agar tercapai ketertiban sosial. Untuk mencapai ketertiban sosial inilah diperlukan peraturan normatif tentang perilaku apa yang baik dan perilaku apa yang buruk sebagai dasar lahirnya proposisi perintah dan larangan dalam hukum.
Oleh sebab itu, etika kemudian menjadi sumber hukum materil bagi pembentukan undang-undang. Maka lahirlah asas yang berbunyi “Quid leges sine moribus” yang artinya apalah arti undang-undang tanpa moralitas, yang jika dimaknai dapat diartikan bahwa undang-undang (hukum) tanpa moralitas bukanlah sebuah hukum.
Hukum dalam arti undang-undang secara das sollen pada dasarnya merupakan positivisasi etika yang bersifat abstrak menjadi lebih konkret sehingga dapat aplikatif dan efektif (karena disertai sanksi heteronom dari negara). Meskipun demikian, tidak semua etika itu dipositivisasi menjadi produk hukum formal karena keterbatasan perangkat dan jangkauan hukum, etika yang tidak dipositivisasi menjadi hukum formal mewujud menjadi etika tidak tertulis.
Mengacu pada tata hukum negara Indonesia, maka Pancasila sebagai dasar negara yang sekaligus merupakan etika-moral bangsa Indonesia kemudian menjadi sumber dari segala sumber hukum dalam pembentukan hukum nasional sebagaimana tertuang dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. Hal ini menegaskan bahwa secara yuridis maupun filosofis, etika itu kedudukannya lebih tinggi dari hukum formal (undang-undang).
Jika dirunut lahirnya norma hukum, bahwa norma hukum itu bersumber dari nilai dan asas. Yang paling abstrak adalah nilai, kemudian nilai menurunkan asas yang sifatnya proposisi, asas kemudian menjadi roh lahirnya norma hukum yang merupakan produk akhir atau konkretisasi dari nilai dan asas.
Dalam konteks ini, etika moral berada dan mencakup pada tataran nilai dan asas. Maka dalam hal ini, etika itu lebih tinggi dari hukum, karena dia menjadi alasan dari lahirnya hukum.
Substansi dari sebuah produk hukum itu sendiri pada hakikatnya bersumber dari 3 hal: etika, kehendak penguasa, dan perjanjian internasional.
Lalu, bagaimana jika seseorang melanggar etika yang tidak dipositivisasi menjadi peraturan formal-yuridis. Jawabannya sederhana, orang tersebut tidak dapat dijatuhi sanksi heteronom dari negara. Akan tetapi, orang tersebut akan mendapatkan sanksi sosial atas perbuatannya.
Selanjutnya, bagaimana kedudukan kode etik profesi dengan peraturan perundang-undangan. Mana yang lebih tinggi? Menurut hemat saya, antara peraturan perundang-undangan dengan kode etik profesi tidak dilihat dalam relasi hierarkis secara vertikal tetapi dilihat secara integral-horizontal yang sifatnya komplementer (pelengkap dan berjalan beriringan).
Maka dari itu, dalam obyek dan subyek yang sama, peradilan negara dan peradilan etik dapat dilaksanakan secara beriringan. Misalnya dalam kasus Ferdy Sambo, bahwa peradilan negara dan peradilan etik berjalan dan ditegakkan secara beriringan.
Secara konseptual, kode etik profesi ditegakkan melalui peradilan etik (komunitas profesi/lembaga khusus) dimana sanksinya bersifat administratif. Sedangkan peraturan perundang-undangan (undang-undang) ditegakkan melalui pengadilan (institusi negara) yang sanksinya bersifat penghilangan dan pembatasan kebebasan, pembayaran materil, maupun administratif.
Pada hakikatnya, kode etik merupakan landasan moral dan panduan perilaku untuk berjalan sesuai koridor hukum dan standar profesi dalam menjalankan profesi. Kode etik profesi merupakan roh dari tegaknya rule of law. (*)
