Ilustrasi Pembangunan Monas| Foto: LIFE

oleh Hafidz Trijatnika

“Tuan telah menyatakan, bahwa saya dalam ruang-lingkup yang kecil mempunyai daya cipta. Yah, saya ingin mencipta. Akan tetapi untuk saya sendiri. Saya tidak yakin di kemudian hari akan menjadi pembangun rumah. Tujuan saya ialah untuk menjadi pembangun dari suatu bangsa.”

Pernyataan tersebut tegas dikatakan Ir Soekarno kepada Charles Prosper Wolff Schoemaker, seorang profesor di bidang teknik sipil yang merupakan bos pertama Soekarno dalam dunia profesional arsitek dan juga dosennya saat mengeyam pendidikan di Technische Hoogeschool (TH) te Bandoeng yang kini telah bertransformasi menjadi Institut Teknologi Bandung (ITB).

Perkataan Bung Karno tersebut mempertegas bahwa dirinya lebih dari sekedar arsitek yang membangun sebuah bangunan, namun dirinya sudah berhasrat sebagai ‘Arsitek Bangsa’ yang merancang dan menata-tegak sebuah bangunan ‘bangsa’.

Jauh sebelum menjadi Bapak Besar Bangsa Republik Indonesia dengan memproklamirkan kemerdekaan bersama Mohammad Hatta pada 17 Agustus 1945 di sebuah rumah Jalan Pegangsaan Timur, pria yang memiliki nama kecil Koesno Sosrodihardjo ini mulai mengenyam pendidikan di jurusan Teknik Sipil, TH te Bandoeng pada 1921. Namun baru dua bulan berkuliah, Bung Karno keluar dan 1922 kembali mendaftar dan lulus pada 1926.

Usai lulus dari Ilmu Hidrologi Fakultas Teknik Sipil TS pada 25 Mei 1926, bakat menggambar desain Ir Soekarno menarik perhatian CP Wolff Schoemaker yang memintanya menjadi asisten dengan tugas draftman atau tukang gambar dalam sejumlah proyek arsitektur yang sedang dikerjakan, khususnya di Kota Bandung saat itu.

Kesempatan tersebut pun membuat Soekarno mendirikan biro insinyur bersama Ir Anwari, rekan satu angkatannya di TS Bandung pada 1926 serta dikemudian hari pada 1932 membangun biro arsitek dengan Roosseno Soerjohadikoesoemo yang kelak dinobatkan sebagai Bapak Beton Indonesia.

Sejumlah bangunan dan arsitektur di Bandung berupa rumah dan masjid kecil di Bandung. Menurut Arsitek dan juga Pengajar di Universitas Pancasila Yuke Ardhiati, dalam bukunya ‘Bung Karno Sang Arsitek’, kegiatan profesional Soekarno dalam dunia arsitektur banyak terganggu akibat aktivitas politiknya yang dianggap mengancam pemerintahan Hindia-Belanda pada masa itu.

Banyak pihak yang tidak ingin berurusan dengan Soekarno dalam bidang arsitektur akibat tindakan politiknya yang banyak berseberangan dengan pemerintahan Hindia-Belanda. Sehingga usahanya saat bersama Ir Anwari dan Rooseno pun tidak banyak berkembang dan berujung gulung tikar.

Namun setelah Republik Indonesia merdeka dan Soekarno menjadi presiden, berbagai bangunan khususnya di Jakarta yang ditetapkan sebagai ibukota bertransformasi besar dari segi arsitektur. Soekarno ingin menata bangunan di Jakarta untuk menampilkan jati diri bangsa yang baru saja merdeka kepada dunia internasional.

Sebut saja Monumen Nasional (Monas), Masjid Istiqlal, Gedung Conefo (sekarang gedung DPR-MPR), Gedung Sarinah, Hotel Indonesia, Tugu Selamat Datang, dan Patung Dirgantara merupakan bagian dari ide ‘Arsitek Bangsa’ yang sudah terpatri dalam benaknya sejak masa berkuliah.

Memang sebagian besar bangunan tersebut bukan merupakan karya arsitektur murni ciptaan Soekarno, namun Yuke Ardhiati menyebut, ide awal saja sudah merupakan bagian dari ilmu arsitektur itu sendiri. Dalam membangun Monas, Soekarno sering bertukar isi pikiran dengan M Soedarsono. Setiap sarapan, ujar Yuke, Soekarno sering berbincang dengan Soedarsono dalam bagaimana mengejawantahkan pembangunan monumen yang bisa merepresentasikan Indonesia sebagai negara yang baru merdeka, bebas dari penjajahan, dan mandiri.

Visualisasi ide Soekarno tersebut direalisasikan dengan sempurna oleh Soedarsono hingga saat ini Monas menjadi suatu kebanggaan nasional bagi seluruh rakyat Indonesia.

Saking ingin mencitrakan jati diri bangsa lewat karya arsitektur, Bung Karno banyak menyerap ide-ide bangunan dan arsitektur dari negara lain saat melakukan kunjungan marathon pada Mei-Juli 1956 ke Amerika Serikat, Kanada, Swiss, Jerman, dan Italia.

Jiwanya sebagai arsitek pun bahkan bergelora saat menunaikan ibadah haji ke Arab Saudi. Saat tiba di Masjidil Haram, Soekarno melihat jalur sa’i yang digunakan para jemaah untuk tawaf akan semakin sesak seiring waktu. Oleh karena itu, Soekarno memberikan ide kepada Kerajaan Arab Saudi membangun bangunan bertingkat dengan dua jalur di dalam masjidil haram yang bisa digunakan untuk tawaf para jemaah. Pada tahun 1966 Kerajaan Arab Saudi melakukan renovasi besar-besaran pertamanya di Masjidil Haram dan kemudian merealisasikan ide Soekarno tersebut untuk membuat sa’i dua jalur dan bangunan bertingkat yang megah untuk tawaf.

Soekarno yang merupakan Bapak Pendiri Bangsa, mengenyam pendidikan sebagai arsitek atau insinyur saat masa mudanya, bukanlah suatu kebetulan semata. Dirinya bersama para pendiri bangsa lain, menata tonggak berdirinya negara, mulai dari Pancasila sebagai pedoma bernegara, hingga UUD 1945 yang hingga saat ini masih digunakan sebagai pedoman hukum berbangsa, tidak terlepas dari masa mudanya yang mengenal ilmu dasar menegakkan sebuah bangunan.

Bangsa ibarat sebuah bangunan, tidak dapat berdiri tanpa ideologi sebagai tiang pancangnya, hukum sebagai alas lantai, persatuan sebagai dinding yang melindunginya, serta kerukunan rakyat harmonis sebagai penghuninya. (*)