Oleh: Pradikta Andi Alvat S.H., M.H.

Pemerintah telah mengeluarkan kebijakan PPKM darurat khusus untuk wilayah Jawa-Bali sejak tanggal 3 Juli hingga 20 Juli 2021. PPKM darurat sendiri bertujuan untuk membatasi mobilitas pergerakan masyarakat, mengurangi potensi kerumunan, yang tujuan akhirnya guna menekan laju persebaran Covid-19 di Indonesia yang beberapa hari ke belakang menunjukkan peningkatan yang signifikan.

Menurut data dari laman covid19.go.id per 15 Juli 2021, jumlah positif Covid-19 di Indonesia sebesar 2.726.803 jiwa, 2.176.412 sembuh, dan 70.192 meninggal dunia. Berdasarkan data Worldmeters, pada tanggal14 Juli 2021, Indonesia mencatatkan diri sebagai negara dengan penambahan kasus positif Covid-19 terbanyak di dunia dan peringkat kedua dalam hal jumlah kematian akibat Covid-19.

Realitas tersebut menggambarkan bahwa lonjakan Covid-19 di Indonesia semakin tak terkendali. Maka, menjadi cukup logis jika PPKM darurat diterapkan oleh pemerintah sebagai sarana untuk mengentaskan atau setidaknya mereduksi lonjakan kasus Covid-19 di Indonesia.

Esensi dari PPKM darurat sendiri adalah pembatasan mobilitas masyarakat, yang tentunya mengandung konsekuensi efek samping. Efek samping dari pada pemberlakuan PPKM darurat salah satunya adalah menurunnya aktivitas perekonomian, yang berderivasi pada menurunnya pendapatan masyarakat.

Tetapi, PPKM darurat telah diberlakukan, kini fokus harus diarahkan tentang bagaimana efektifitas dari pada implementasi dan kinerja PPKM darurat untuk membatasi mobilitas masyarakat, mengurangi kerumunan, dan reduksi lonjakan persebaran Covid-19.

Secara fungsional, pemberlakuan PPKM darurat akan efektif dan fungsional manakala terpenuhi dua aspek. Pertama, penegakan hukum yang efektif. Kedua, adanya akomodasi dari masyarakat secara luas. Penegakan aturan PPKM darurat sendiri tentu akan mengalami hambatan baik secara internal (sarana dan jumlah personel), maupun secara eksternal (resistensi dari masyarakat). Terlebih, para penegak hukum akan dihadapkan dengan kondisi-kondisi empiris yang akan menguras emosi sosiologis dalam penegakan aturan PPKM di lapangan.

Di tengah kondisi pandemi Covid-19 yang belum jua berkesudahan ini, masyarakat memiliki dua problema akut. Pertama, problema psikologis. Rasa duka, kesedihan, frustrasi, dan cemas telah kuyup dirasakan oleh masyarakat. Kematian dan kehilangan seolah menjadi hal yang sangat akrab dirasakan oleh masyarakat.

Kedua, problema ekonomi. Lesunya ekonomi dan berkurangnya pendapatan dirasakan oleh hampir semua golongan masyarakat khususnya pada sektor swasta. Kemiskinan dan ketimpangan pun tidak terelakkan. Sejalan dengan kondisi tersebut, maka problema psikologis dan problema ekonomi ini harus dilihat sebagai panduan moral dalam penegakan hukum terkait aturan PPKM darurat di lapangan.

Oleh karena itu, menegakkan aturan PPKM darurat harus dilakukan secara cerdas dan efektif, tidak sekadar konsekuen-represif. Di tengah kondisi yang kalut baik secara psikologis dan ekonomi di satu sisi, dan tuntutan efektifitas PPKM darurat di sisi yang lain, maka para aparatur penegak hukum baik polisi maupun satpol pp harus bisa melakukan penegakan hukum mesu budi.

Menurut Prof. Satjipto Rahardjo dalam buku Penegakan Hukum Progresif (2010), mesu budi adalah pengerahan seluruh potensi kejiwaan dalam diri yang menitikberatkan pada aspek spiritualitas. Dimana praksisnya dalam konteks penegakan hukum adalah dengan menegakkan hukum melalui pendekatan-pendekatan spiritual dengan menggunakan hati, karsa, dan jiwa secara utuh.

Penegakan hukum secara represif-ortodox dalam bentuk intimidasi verbal bahkan kekerasan di tengah situasi yang sulit secara psikologis dan ekonomi akan menghasilkan nir-efektifitas penegakan hukum. Selama pemberlakuan PPKM darurat sendiri, kerap terjadi praktik-praktik intimidasi bahkan kekerasan fisik yang dilakukan oleh aparat penegak hukum, sebagaimana yang dialami oleh seorang wanita hamil pemilik warung kopi di Gowa yang dipukul oleh oknum satpol pp setempat.

Di tengah suasana kalut psikologis dan kering ekonomi berkepanjangan akibat pandemi Covid-19, penegakan hukum dengan pendekatan represif-ortodox tidak akan efektif, maka diperlukan penegakan hukum mesu budi, yang praksisnya adalah dengan melakukan pendekatan humanistik, persuasif, empati, dialogis, dan compasion dalam pelaksanaan tugas penegakan hukum.

Dengan pendekatan humanistik, persuasif, empati, dialogis, dan compasion dalam penegakan hukum PPKM darurat, setidaknya akan dapat meredam problema masyarakat khususnya secara psikologis akibat adanya pandemi Covid-19 dan efek samping PPKM darurat, di sisi lain, efektifitas aturan PPKM darurat sendiri juga akan dapat berjalan efektif dan minim resistensi.

Maka dari itu, menegakkan hukum, apalagi di situasi yang tidak normal, diperlukan personel penegak hukum yang cerdas. Yang dapat memahami bahwa menegakkan hukum tidak sekadar penertiban aturan formal, melainkan harus melihat aspek kemanusiaan dan suasana kebathinan sosial. (*)