Oleh: Fachrunisa Zahra *)

Di era digital yang serba cepat, istilah “pengalihan isu” seringkali terdengar di berbagai platform media sosial. Menurut riset dari sumber We Are Social warganet Indonesia menghabiskan waktu hingga 7 jam 38 menit per hari untuk internetan salah satunya untuk mengakses media sosial.

Namun, kerap kali saat membuka aplikasi untuk mencari informasi atau hiburan, perhatian kita justru tertuju pada tren topik – topik viral yang ramai dibicarakan. Durasi waktu rata – rata konsumsi sosial media membuat kita tak heran apabila suatu isu sangat mudah tersebar dengan cepat di sosial media.Namun, benarkah pengalihan isu ini benar-benar terjadi, atau hanya kebetulan semata?

Apa Itu Pengalihan Isu?

Secara umum, pengalihan isu dipahami sebagai upaya untuk menutupi suatu isu viral dengan isu viral lainnya. Kedua isu tersebut bisa saja sama-sama benar, salah satu di antaranya keliru, atau bahkan keduanya tidak valid. Namun, karena luasnya media sosial, algoritma yang mendukung penyebaran konten viral, dan banyaknya opini yang beredar, masyarakat sering kali sulit membedakan antara informasi yang valid dan yang hanya spekulasi belaka.

Tren viral di media sosial sering kali didominasi oleh isu – isu yang masih abu – abu yang hanya dihiasi dengan headline menarik serta menggunakan pertanyaan provokatif, kemudian dibahas panjang lebar oleh netizen melalui berbagai bukti – bukti dari berbagai opini – opini. Fenomena ini semakin memperkuat narasi bahwa pengalihan isu memang ada, meskipun belum tentu terbukti secara faktual.

Pengalihan Isu: Fakta atau Opini?

Apakah pengalihan isu benar-benar ada? Jawabannya tidak sesederhana “iya” atau “tidak”. Di satu sisi, mungkin saja ada pihak – pihak yang sengaja menggiring opini publik ke suatu arah tertentu sesuai dengan tujuannya. Namun di sisi lain, bisa juga lebih dari satu isu besar yang muncul berdekatan dan mendadak viral hanyalah kebetulan semata.

Sebagai contoh, ketika ada kasus pembunuhan yang melibatkan tokoh terkenal yang ‘wow’ dan sedang diproses hukum, dalam waktu yang hampir bersamaan muncul isu kenaikan harga BBM dan ancaman kebocoran data – data kita oleh seorang hacker yang muncul dengan nama anonim bjorka.

Dalam kondisi seperti ini, wajar jika sebagian orang mencurigai adanya pengalihan isu. Bahkan, ada yang menganggap kemunculan bjorka hacker yang misterius sebagai bagian dari skenario untuk menutupi isu lain atau bisa dibilang bjorka dituding sedang dimainkan oleh seseorang.

Sungguh opini yang luar biasa bukan? Tak disangka pula ketika terdapat isu perselingkuhan viral dari sepasang influencer, banyak netizen yang berspekulasi bahwa isu tersebut dibuat

untuk menutupi isu lain. Bahkan, ranah privat rumah tangga seperti itu bisa disebut dengan pengalihan isu, apakah menurut kalian hal tersebut masuk akal? Namun tetap saja, tidak ada jawaban “iya” atau “tidak”.

Namun, apakah benar demikian? Segalanya bisa saja menjadi suatu kemungkinan yang benar adanya, walaupun sejauh ini tidak ada bukti konkret yang menunjukkan bahwa semua peristiwa tersebut dirancang sebagai pengalihan isu.

Yang pasti, media sosial memungkinkan siapa saja untuk menyebarkan opini mereka, yang pada akhirnya membentuk persepsi kolektif, walaupun faktanya tetap saja ada yang benar – benar menyambung – nyambungkan benang merah dari sebuah isu dengan alibi pengalihan isu.

Peran Media Sosial dalam Membangun Opini Publik

Media sosial memiliki kekuatan dominan dalam membentuk opini publik dan menentukan isu mana yang mendapat perhatian lebih. Seperti pada beberapa kasus, Isu – isu politik atau isu – isu kesenjangan sosial yang berdampak besar bagi masyarakat seketika dapat tiba – tiba tergantikan oleh isu lain yang lebih sensasional, seperti skandal – skandal negatif para jajaran selebriti atau mungkin kasus pribadi yang di besar – besarkan.

Misalnya, ketika isu korupsi tambang timah di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung sebesar Rp 271 Triliun. Tentu ramai sekali netizen yang memperbincangkan isu panas ini, ditambah lagi total nilai kerugian yang tak sedikit. Namun, belum sempat isu tersebut dapat diusut tuntas, netizen sudah digemparkan lagi dengan kasus ‘Vina Cirebon’ yang Kembali viral di media sosial.

Faktanya, 8 tahun kasus ini sudah berlalu namun mengapa kasus ini masih saja membuat heboh jagat maya Indonesia? Sebelumnya, kasus ini sempat terhenti tanpa adanya penyelesaian faktual yang diungkap. Kasusnya tetap saja kesana kemari bak tukang ojek online yang sedang menjalani orderan. Karenanya, banyak sekali netizen Indonesia yang beranggapan bahwa kasus ‘Vina Cirebon’ ini erat kaitannya dengan pengalihan isu.

Pergeseran perhatian seperti ini sering kali memunculkan kecurigaan bahwa ada pihak yang dengan sengaja mengalihkan fokus netizen Indonesia dari isu – isu penting ke isu yang kontroversial dan menghibur.

Namun, perlu diingat bahwa media sosial juga memiliki kepentingan komersial. Mereka pastinya akan cenderung memberitakan isu yang paling menarik dan banyak dicari oleh publik, karena dengan begitu media sosial akan mendapatkan banyak keuntungan dengan banyak pembaca dan pemasukan iklan.

Artinya, dengan kata lain, tidak semua pergeseran fokus netizen pengguna sosial media dalam pemberitaan tidak melulu sebagai bagian dari strategi pengalihan isu – isu para pemangku kepentingan, namun bisa saja pergeseran fokus ini dikarenakan minat para netizen sendiri yang lebih tertarik pada isu – isu tertentu sehingga menciptakan ekosistem algoritmanya sendiri di media sosial.

Pada akhirnya, pengalihan isu tetap menjadi perdebatan yang belum memiliki jawaban absolut. Ada kemungkinan bahwa pengalihan isu memang terjadi dalam beberapa kasus, namun ada juga kemungkinan bahwa fenomena ini hanyalah hasil dari algoritma tren viral alami di media sosial yang dipengaruhi oleh minat dan interaksi pengguna.

Sebagai pengguna media sosial, kita harus lebih kritis dalam menyikapi setiap isu yang berkembang. Verifikasi informasi, memahami konteks, dan tidak mudah terpancing oleh opini yang belum tentu benar adalah langkah penting agar kita tidak terjebak dalam permainan isu yang tidak jelas asal-usulnya. Dalam dunia digital yang penuh dengan informasi, hanya validasi dan kebenaran yang bisa menggantikan narasi spekulatif tentang pengalihan isu. (*)

*) Penulis: Mahasiswa IPB University, Program Studi Komunikasi Digital dan Media, Fakultas Sekolah Vokasi.

Bagikan :