Oleh : Rizki Syamsul Fauzi

Ketercapaian hasil belajar siswa merupakan aspek yang penting dalam pelaksanaan pendidikan yang bermutu. Dari data yang didapat, satuan Pendidikan dari setiap level akan menjadikan hasil belajar tersebut sebagai bahan evaluasi dan proyeksi kedepanya terkait apa saja yang harus dilakukan dan apa yang tidak harus dilakukan.

Ketercapaian hasil belajar pastinya mengalami fluktuasi yang entah barangkali mengalami peningkatan atau penurunan yang juga disebabkan oleh berbagai macam faktor yang mempengaruhinya. Faktor-faktor tersebut merupakan faktor yang sulit dihindari dalam konteks kondisi pendidikan Indonesia yang secara geografis begitu luas.

Wilayah Indonesia yang terdiri dari pulau-pulau membuat ketimpangan akses yang signifikan antar pulau bahkan antar kota dan kabupaten. Maka dalam pelaksanaan Tes Kemampuan Akademik konteks kelokalan dalam hal ini kondisi exsisting masing-masing wilayah mesti dipertimbangkan.

Standariasi yang dibakukan menyeluruh secara nasional mesti ada namun memang bukan menjadikan patokan utama untuk dijadikan penilaian final apalagi jika Tes Kemampuan Akademik tersebut menjadi prasyarat utama siswa bisa masuk ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi.

Namun dalam paparanya Mentri Pendidikan Dasar dan Menengah yakni Abdul Mu’ti menjelaskan bahwa Tes Kemampuan Akademik tidak sama seperti Ujian Nasional, yang menjadi Hakim Tunggal penentu kelulusan siswa.

Berjalannya kebijakan Ujian Nasioal tersebut memunculkan berbagai macam masalah kompleks. Seperti kepanikan psikologis kolektif terhadap siswa karena jika nilai UN (Ujian Nasional) kecil, maka masa depan sudah dipastikan suram.

Hal ini memicu kesadaran semu yang meluas dalam diri siswa yang akan berakibat fatal terhadap sempitnya pemahaman mereka terhadap tantangan masa depan yang lebih kompleks dan dalam frame yang lebih luas. Tidak sesempit hanya berdasarkan pada nilai Ujian Nasional (UN).

Selain itu juga Ujian Nasional menjadi celah komersialisasi pendidikan yang semakin masif. Karena lembaga pengajaran seolah mendapat pasar yang besar. Siswa-siswi yang dari kalangan ekonomi menengah ke atas memiliki akses yang besar untuk mendapat kesempatan nilai Ujian Nasional yang lebih tinggi, karena mereka mampu membeli kursi untuk mendapat tambahan pembelajaran yang lebih efektif.

Tes Kemampuan Akademik (TKA) harus menjadi terobosan baru yang menjadi angin segar dalam upaya pelaksanaan Evaluasi Ketercapaian Hasil Belajar Siswa yang dulu kesannya tidak berkeadilan.

Namun dengan banyak catatan bahwa tidak memperlebar jurang ketimpangan, semua satuan pendidikan diberikan ruang untuk memberikan penilaian sendiri dalam konteks kelokalan agar evaluasi yang dilaksanakan tidak mencabut identitas sosial budaya, dimana siswa siswi hidup di daerahnya masing-masing.

Meskipun akan menjadi suatu hal yang kompleks namun tentu jika pemerintah bertekad untuk melaksanakan political will akan ada berbagai macam bentuk konsekuensi dan risiko mesti ditempuh. (*)

Bagikan :